KEPERAWATAN
SISTEM MUSKULOSKELETAL II
FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI KEMAMPUAN MOTORIK TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS NYERI PADA LANSIA
Oleh:
Kelompok
8
1. Dessy
N Millata (101.0019)
2. Dita
Eka C (101.0025)
3. Ghora
Kertapati (101.0047)
4. Lailiyah
Indri E.D (101.0057)
5. Rahayu
Aprilia W (101.0089)
6. Septiananingsih (101.0103)
PRODI
S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
2013
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberhasilan
Pemerintahan dalam Pembangunan Nasional, telah mewujudkan hasil yang positif
diberbagai bidang, yaitu adanya kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang kesehatan, sehingga
dapat meningkatkan kualitas kesehatan penduduk serta meningkatkan umur harapan
hidup manusia. Akibatnya jumlah penduduk yang berusia lanjut meningkat dan
bertambah cenderung cepat. Banyaknya penyakit yang terjadi pada
lansia yang dipengaruhi oleh proses penuaan, usia, status pekerjaan, makanan
dan aktivitas fisik adalah penyakit hipertensi, diabetes melitus,
kardiovaskuler dan penyakit rematik. Nyeri kronik merupakan masalah kesehatan
yang sering terjadi pada lanjut usia (lansia). Permasalahan nyeri pada lansia
adalah kesulitan menegakkan diagnosis dan menentukan terapi, sehingga
memperberat penyakit yang mendasari. Penatalaksanaan medis kasus nyeri pada
lansia seringkali terjadi kegagalan. Penyebab utama kegagalan tersebut adalah adanya
beberapa keyakinan yang tidak tepat, yaitu nyeri pada lansia adalah sesuatu
yang normal dan tidak perlu penanganan medis profesional, penderita nyeri
lansia lebih baik dalam mengatasi nyeri dibandingkan usia muda sehingga tidak
perlu penanganan khusus, dan nyeri kronis mungkin dapat menyebabkan penderita
lansia tidak nyaman tetapi tidak berbahaya.
Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa
Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia
terbanyak di dunia yakni mencapai 18,1 juta jiwa pada 2010 atau 9,6 persen dari
jumlah penduduk. Sementara itu,
Umur Harapan Hidup (UHH) manusia Indonesia semakin meningkat dimana pada RPJMN
Kemkes tahun 2014 diharapkan terjadi peningkatan UHH dari 70,6 tahun pada 2010
menjadi 72 tahun pada 2014 yang akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur
usia penduduk.
Menurut proyeksi Bappenas jumlah penduduk lansia 60 tahun atau lebih akan meningkat dari 18.1 juta pada 2010 menjadi dua kali lipat (36 juta) pada 2025. Sekitar 25-50% dari jumlah lansia yang tinggal di masyarakat menderita nyeri kronik, sedangkan yang tinggal di panti jompo sekitar 45-80%. Kejadian nyeri pada lansia sebesar 250 orang per 1000 penduduk, sedangkan pada usia di bawah 60 tahun hanya sebesar 125 per 1000 penduduk. Sebanyak 45% lansia yang minum analgesik secara teratur telah mengunjungi lebih dari 3 dokter dalam 5 tahun terakhir dan 70% dari dokter tersebut adalah dokter umum.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penatalaksanaan nyeri pada lansia adalah berkurangnya rasa nyeri pada lansia sehingga penyakit-penyakit tertentu yang biasanya disertai nyeri pada orang dewasa ternyata pada lansia didapati nyeri yang ringan bahkan tanpa nyeri misalnya sebahagian lansia yang mengalami serangan jantung koroner dapat menderita nyeri dada atau tanpa nyeri sehingga menyulitkan bagi dokter untuk mengetahui penyakitnya dan oleh karena itu terlambat menanganinya. Selain dari pada itu, berbagai kelainan jiwa dan saraf sering menyertai nyeri pada lansia, sehingga dapat menyulitkan dokter di dalam menilai nyeri, juga efek samping obat analgesik sering terjadi pada lansia.
Menurut proyeksi Bappenas jumlah penduduk lansia 60 tahun atau lebih akan meningkat dari 18.1 juta pada 2010 menjadi dua kali lipat (36 juta) pada 2025. Sekitar 25-50% dari jumlah lansia yang tinggal di masyarakat menderita nyeri kronik, sedangkan yang tinggal di panti jompo sekitar 45-80%. Kejadian nyeri pada lansia sebesar 250 orang per 1000 penduduk, sedangkan pada usia di bawah 60 tahun hanya sebesar 125 per 1000 penduduk. Sebanyak 45% lansia yang minum analgesik secara teratur telah mengunjungi lebih dari 3 dokter dalam 5 tahun terakhir dan 70% dari dokter tersebut adalah dokter umum.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penatalaksanaan nyeri pada lansia adalah berkurangnya rasa nyeri pada lansia sehingga penyakit-penyakit tertentu yang biasanya disertai nyeri pada orang dewasa ternyata pada lansia didapati nyeri yang ringan bahkan tanpa nyeri misalnya sebahagian lansia yang mengalami serangan jantung koroner dapat menderita nyeri dada atau tanpa nyeri sehingga menyulitkan bagi dokter untuk mengetahui penyakitnya dan oleh karena itu terlambat menanganinya. Selain dari pada itu, berbagai kelainan jiwa dan saraf sering menyertai nyeri pada lansia, sehingga dapat menyulitkan dokter di dalam menilai nyeri, juga efek samping obat analgesik sering terjadi pada lansia.
Hilangnya neuron yang kontinyu pada otak dan korda
spinalis terjadi sebagai bagian dari proses menua yang normal. Hal ini
mengakibatkan perubahan pada orang dewasa yang berusia >65 tahun yang
seringkali diinterpretasikan sebagai hal yang abnormal pada individu yang lebih
muda. Kecepatan konduksi saraf menurun antara 5-10% sebagai akibat dari proses
menua. Hal ini kemudian akan menurunkan waktu respon dan memperlambat transmisi
impuls, sehingga menurunkan persepsi sensori sentuh dan nyeri.
Nyeri adalah keluhan yang umum pada pasien lanjut
usia, tetapi mereka mungkin tidak melaporkannya karena beberapa sebab.
Penilaian nyeri pada pasien ini harus didahului dengan evaluasi kemampuan
pendengaran, penglihatan, bicara dan sensorik. Gangguan atau kelainan pada
indera tersebut dapat mempengaruhi secara bermakna cara penilaian nyeri
dilakukan. Nyeri merupakan pengalaman subyektif yang dapat mempengaruhi
kualitas hidup lansia termasuk gangguan kemampuan fisiknya. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan motorik
terhadap peningkatan kualitas nyeri pada lansia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena di
atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi
kemampuan motorik pada lansia?
2.
Bagaimanakah gambaran peningkatan
kualitas nyeri pada lansia?
3.
Apakah kemampuan motorik mempengaruhi
peningkatan kualitas nyeri pada lansia?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kemampuan motorik pada lansia.
2.
Untuk mengetahui gambaran peningkatan
kualitas nyeri pada lansia.
3.
Untuk mengetahui hubungan kemampuan
motorik dengan peningkatan kualitas nyeri pada lansia.
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Konsep
Kemampuan
Kemampuan di
dalam kamus bahasa Indonesia, kemampuan
berasal dari kata “mampu” yang berarti kuasa
(bisa, sanggup, melakukan sesuatu, dapat, berada,
kaya, mempunyai harta berlebihan). Kemampuan adalah
suatu kesanggupan, dalam melakukan sesuatu.
Seseorang dikatakan mampu apabila ia bisa melakukan sesuatu yang
harus ia lakukan.
Menurut Chaplin (kemampuan, kecakapan,
ketangkasan, bakat, kesanggupan) merupakan tenaga (daya
kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan. Sedangkan menurut Robbins
kemampuan bisa merupakan kesanggupan bawaan
sejak lahir, atau merupakan hasil latihan atau praktek.
Ada pula
pendapat lain menurut Akhmat Sudrajat menghubungkan
kemampuan dengan kata kecakapan. Setiap individu
memiliki kecakapan yang berbeda-beda dalam melakukan
suatu tindakan. Kecakapan ini mempengaruhi potensi
yang ada dalam diri individu tersebut.
Proses pembelajaran mengharuskan siswa mengoptimalkan segala
kecakapan yang dimiliki
Berikut pengetian
kemampuan dari skripsi Endri Meylasari:
Mampu berarti kuasa (bisa, sanggup) melakukan sesuatu; dapat;
berada; kaya; mempunyai harta berlebih.
Kemampuan adalah kesanggupan; kecakapan; kekuatan (Depdikbud, 1999:623).
Seseorang dikatakan mampu apabila ia bisa atau sanggup melakukan sesuatu yang
harus ia lakukan. Kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk melakukan
beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan adalah sebuah penilaian terkini
atas apa yang dapat dilakukan seseorang. Berdasarkan beberapa pengertian di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah kapasitas kesanggupan atau
kecakapan seorang individu dalam melakukan sesuatu hal atau beragam tugas dalam
suatu pekerjaan tertentu.
Menurut Mohammda Zain dalam Milman Yusdi (2010:10) mengartikan bahwa
Kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kakuatan kita berusaha dengan diri
sendiri. Sedangkan Anggiat M.Sinaga dan Sri Hadiati (2001:34) mendefenisikan
kemampuan sebagai suatu dasar seseorang yang dengan sendirinya berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan secara efektif atau sangat berhasil.
Sementara itu, Robbin (2007:57) kemampuan berarti kapasitas seseorang
individu unutk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. lebih lanjut
Robbin menyatakan bahwa kemampuan (ability) adalah sebuah penilaian terkini
atas apa yang dapat dilakukan seseorang. Berdasarkan beberapa
pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah kapasitas
kesanggupan atau kecakapan seorang individu dalam melakukan sesuatu hal atau
beragam tugas dalam suatu pekerjaan tertentu.
Menurut kamus bahasa Indonesia kemampuan adalah
kesanggupan untuk melakukan sesuatu. Aktifitas adalah suatu usaha energi atau
keadaan bergerak dimana manusia memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidup, Aktifitas didefinisikan suatu aksi energetic atau keadaan bergerak semua
manusia memerlukan kemampuan untuk bergerak (Potter, 2005). Penilaian aktifitas
sehari-hari sangat penting dalam menentukan tingkat bantuan yang diperlukan
setiap hari, dan penilaian ini sangat membantu dalam perencanaan perawatan
jangka panjang untuk lansia. Demikian pula, evaluasi aktifitas sehari-hari
penting dalam menentukan tingkat bantuan yang dibutuhkan oleh orang-orang di
independen dari bantuan yang dibutuhkan oleh orang-orang dalam pengaturan
independen atau semi-independen (Miller, 1995)
Aktifitas kehidupan sehari-hari (AKS) adalah
aktifitas yang biasanya dilakukan dalam sepanjang hari normal. Aktifitas
tersebut mencakup ambulasi, makan, berpakaian, mandi, menyikat gigi dan berhias
(Potter, 2005). Salah satu tujuan dari penilaian dalam situasi penyalah gunaan
adalah untuk menentukan perlunya intervensi hukum ketika selansia beresiko.
Oleh karena itu, potensi penilaian seorang perawat kepada orang tersebut
berfungsi baik dan sangat penting dalam aktifitas hidup sehari-hari (Miller,
1995). Aktifitas merupakan salah satu penilaian dalam kehidupan sehari-hari
orang tua dalam melakukan tindakan yang perlu dilakukan secara benar. Aktifitas
dan kegiatan produktif dapat meningkatkan kualitas dan usia hidup seseorang. Mereka
yang lebih aktif secara sosial ternyata lebih sedikit yang meninggal lebih dini
ketimbang mereka yang kurang aktif (Miller,1995).
Menurut Darmojo (1999),
manfaat kemampuan aktifitas sehari-hari pada lansia adalah sebagai berikut:
a.
Meningkatkan kemampuan dan kemauan
seksual lansia
b.
Kulit tidak cepat keriput atau
menghambat proses penuaan
c.
Meningkatkan keelastisan tulang sehingga
tulang tidak mudah patah
d.
Menghambat pengecilan otot dan
mempertahankan atau mengurangi kecepatan penurunan kekuatan otot (Darmojo,
1999).
Menurut Leukenotte (1998), aktifitas sehari-hari
terdiri dari:
a. Mandi
(spon, pancuran, atau bak)
Tidak
menerima bantuan (masuk dan keluar bak mandi sendiri jika mandi dengan menjadi
kebiasaan), menerima bantuan untuk mandi hanya satu bagian tubuh (seperti
punggung atau kaki), menerima bantuan mandi lebih dari satu bagian tubuh (atau
tidak dimandikan)
b. Berpakaian
Mengambil
baju dan memakai baju dengan lengkap tanpa bantuan, mengambil baju dan memakai
baju dengan lengkap tanpa bantuan kecuali mengikat sepatu, menerima bantuan
dalam memakai baju, atau membiarkan sebagian tetap tidak berpakaian.
c. Ke
kamar kecil
Pergi
kekamar kecil membersihkan diri, dan merapikan baju tanpa bantuan (dapat
mengunakan objek untuk menyokong seperti tongkat, walker, atau kursi roda, dan
dapat mengatur bedpan malam hari atau bedpan pengosongan pada pagi hari,
menerima bantuan kekamar kecil membersihkan diri, atau dalam merapikan pakaian
setelah eliminasi, atau mengunakan bedpan atau pispot pada malam hari, tidak ke
kamar kecil untuk proses eliminasi.
d. Berpindah
Berpindah
ke dan dari tempat tidur seperti berpindah ke dan dari kursi tanpa bantuan
(mungkin mengunakan alat/objek untuk mendukung seperti tempat atau alat bantu
jalan), berpindah ke dan dari tempat tidur atau kursi dengan bantuan, bergerak
naik atau turun dari tempat tidur.
e. Kontinen
Mengontrol
perkemihan dan defekasi dengan komplit oleh diri sendiri, kadang-kadang
mengalami ketidak mampuan untuk mengontrol perkemihan dan defekasi, pengawasan
membantu mempertahankan control urin atau defekasi, kateter digunakan atau
kontnensa.
f. Makan
Makan
sendiri tanpa bantuan, Makan sendiri kecuali mendapatkan bantuan dalam
mengambil makanan sendiri, menerima bantuan dalam makan sebagian atau
sepenuhnya dengan menggunakan selang atau cairan intravena.
2.2
Konsep
Motorik
Motorik
adalah segala sesuatu yang ada hubungannya
dengan gerakan-gerakan tubuh. Dalam perkembangan motorik, unsur-unsur yang
menentukan ialah Otot, Saraf,
dan Otak. Ketiga unsur itu melaksanakan masing-masing peranannya secara “interaksi
positif”, artinya unsur-unsur yang satu saling berkaitan, saling menunjang,
saling melengkapi dengan unsur yang lainnya untuk mencapai kondisi motoris yang
lebih sempurna keadaannya. Selain mengandalkan kekuatan otot, rupanya
kesempurnaan otak juga turut menentukan keadaan. Anak yang pertumbuhan otaknya
mengalami gangguan tampak kurang terampil menggerak-gerakan tubuhnya. Motorik merupakan perkembangan kemampuan melakukan/merespon
suatu hal, jadi bertambahnya usia bertambah pula kemampuan motoriknya.
Motorik sebagai istilah
umum untuk berbagai bentuk perilaku gerak manusia. Sedangkan psikomotorik
khusus digunakan pada domain mengenai perkembangan manusia yang mencakup gerak
manusia. Jadi motorik ruang lingkupnya lebih luas daripada psikomotorik.
Meskipun secara umum motorik sinonim digunakan dengan istilah gerak, sebenarnya
psikomotorik mengacu pada gerakan-gerakan yang dinamakan alih getaran elektorik
dari pusat otot besar. Perkembangan merupakan istilah umum yang mengacu pada
kemajuan dan kemunduran yang terjadi hingga akhir hayat. Pertumbuhan adalah
aspek struktural dari perkembangan. Sedangkan kematangan berkaitan dengan
perubahan fungsi pada perkembangan. Jadi, perkembangan meliputi semua aspek
dari perilaku manusia, dan sebagai hasil hanya dapat dipisahkan kedalam periode
usia. Dukungan pertumbuhan terhadap perkembangan sepanjang hidup merupakan
sesuatu yang berarti. Oleh karena itu perlunya mempelajari perkembangan motorik.
2.3
Konsep
Kualitas
Kualitas nyeri adalah gambaran tentang
seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri
sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang
sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang
berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,
pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang
nyeri itu sendiri.
2.4
Konsep
Nyeri
2.4.1 Definisi
nyeri
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik
ringan maupun berat. Definisi lain menurut Engel (1970) menyatakan nyeri
sebagai suatu dasar sensasi ketidak-nyamanan yang berhubungan dengan tubuh
dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang
nyata, ancaman atau fantasi luka.
Menurut Mc. Laferly (1979), nyeri adalah suatu keadaan yang
mempengaruhi seseorang, dimana eksistensinya diketahui bila seseorang pernah
mengalaminya. Wolf, Weitzel, dan Fuerst (1974) menyatakan bahwa nyeri adalah
suatu perasaan fisik dan atau penderitaan mental atau perasaan sakit yang
biasanya menimbulkan ketegangan atau siksaan bagi orang yang mengalaminya.
Menurut Virginia Burke, nyeri adalah persepsi sensorik dari
rangsangan fisik, psikis maupun lingkungan yang diinterpretasikan oleh otak
yang menimbulkan reaksi terhadap rangsangan tersebut. Nyeri adalah sensasi yang
penting bagi tubuh. Sensasi penglihatan, pendengaran, bau, rasa, sentuhan,dan
nyeri merupakan hasil stimulasi reseptor sensorik. Provokasi saraf-saraf
sensorik nyeri menghasilkan reaksi ketidaknyamanan, distress, atau
menderita.Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa nyeri
merupakan suatu keadaan tidak nyaman yang meningkat yang sensasinya sangat
subyektif, serta menimbulkan gangguan peningkatan emosi, pola pikir, dan
sebagainya.
2.4.2 Sifat Nyeri
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi
tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri memiliki beberapa sifat,
antara lain (Mahon,1994; dalam Potter & Perry,2005:1503) :
1. Subjektif,
sangat individual.
2. Stimulus
nyeri dapat berupa stimulus yang bersifat fisik dan/atau mental, sedangkan
kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego seorang
individu.
3. Tidak
menyenangkan.
4. Merupakan
suatu kekuatan yang mendominasi.
5. Tidak
berkesudahan.
6. Melelahkan
dan menuntut energi seseorang.
7. Dapat
mengganggu hubungan personal dan mempengaruhi makna kehidupan.
8. Tidak
dapat diukur secara objektif, seperti dengan menggunakan sinar X atau
pemeriksaan darah.
9. Mengarah
pada penyebab ketidakmampuan.
2.4.3 Fisiologi Nyeri
Nyeri merupakan campuran fisik, emosi, dan perilaku. Cara
yang paling baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan membantu untuk
menjelaskan tiga komponen fisiologis berikut, resepsi, persepsi, dan reaksi
(Potter & Perry,2005:1504-1510).
a. Resepsi
Semua kerusakan selular, yang disebabkan oleh stimulus
termal, mekanik, kimiawi, atau stimulus listrik menyebabkan pelepasan substansi
yang menghasilkan nyeri. Pemaparan terhadap panas atau dingin, tekanan, friksi,
dan histamin, bradikinin, dan kalium yang bergabung dengan lokasi reseptor di
nosiseptor (reseptor yang berespons terhadap stimulus yang membahayakan) untuk
memulai transmisi neural, yang dikaitkan dengan nyeri (Clancy dan McCivar,
1992). Tabel dibawah ini memuat ringkasan perubahan fisik yang memunculkan
stimulus penghasil nyeri.
Tabel 2.1
Contoh sumber fisik
nyeri
Tipe Stimulus
|
Sumber
|
Proses Patofisiologi
|
· Mekanik
· Kimia
· Termal
· Listrik
|
·
Gangguan dalam cairan tubuh
·
Distensi duktus
·
Lesi yang mengisi ruang (tumor).
·
Perforasi organ viseral
·
Terbakar (akibat panas atau dingin yang
ekstrem).
·
Terbakar
|
· Distensi
edema pada jaringan tubuh
· Regangan
duktus lumen sempit.
· Iritasi
saraf perifer oleh pertumbuhan lesi di dalam ruangan lesi.
· Iritasi
kimiawi oleh sekresi pada ujung-ujung saraf yang sensitif.
· Imflamasi
oleh hilangnya lapisan superficial atau epidermis yang meningkatkan
sensivitas ujung-ujung saraf.
· Lapisan
kulit terbakar disertai cedera jaringan subkutan dan cedera jaringan otot,
menyebabkan cedera pada ujung-ujung saraf.
|
Sumber : Potter & Perry,2005:1505
Tidak semua jaringan terdiri dari reseptor yang
mentransmisikan tanda nyeri. Otak dan alveoli paru merupakan contoh jaringan yang
tidak mentransmisikan nyeri. Beberapa reseptor berespons hanya pada satu jenis
stimulus nyeri, sedangkan reseptor yang lain juga sensitif terhadap temperatur
dan tekanan. Apabila kombinasi dengan respons nyeri mencapai ambang nyeri
(tingkat intensitas stimulus minimum yang dibutuhkan untuk membangkitkan suatu
impuls saraf), kemudian terjadilah aktivasi neuron nyeri. Karena terdapat
variasi dalam bentuk dan ukuran tubuh, maka distribusi reseptor nyeri di setiap
bagian tubuh bervariasi. Hal ini menjelaskan subjektivitas anatomis terhadap
nyeri. Bagian tubuh tertentu pada individu yang berbeda lebih atau kurang
sensitif terhadap nyeri. Selain itu, individu memiliki kapasitas produksi
substansi penghasil nyeri yang berbeda-beda, yang dikendalikan oleh gen individu.
Semakin banyak atau parah sel yang rusak, maka semakin besar aktivasi neuron
nyeri.
Impuls saraf, yang dihasilkan oleh stimulus nyeri, menyebar
di sepanjang serabut saraf perifer aferen. Dua tipe serabut saraf perifer
mengonduksi stimulus nyeri: serabut A-delta yang bermielinasi dan cepat dan
serabut C yang tidak bermielinasi dan berukuran sangat kecil serta lambat.
Serabut A mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi, dan jelas yang
melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut tersebut
menghantarkan komponen suatu cedera akut dengan segera (Jones dan Cory, 1990).
Misalnya, setelah menginjak sebuah paku, seorang individu mula-mula akan
merasakan suatu nyeri yang terlokalisasi dan tajam, yang merupakan hasil
transmisi serabut-A. dalam beberapa detik, nyeri menjadi lebih difus dan
menyebar sampai seluruh kaki terasa sakit karena persarafan serabut-C.
Serabut-C tetap terpapar pada bahan-bahan kimia, yang dilepaskan ketika sel
mengalami kerusakan.
Ketika serabut C dan serabut A-delta mentransmisikan impuls
dari serabut saraf perifer, maka akan melepaskan mediator biokimia yang
mengaktifkan atau membuat peka akan respons nyeri. Misalnya, kalium dan
prostaglandin dilepaskan ketika sel-sel lokal mengalami kerusakan. Transmisi
stimulus nyeri berlanjut di sepanjang serabut saraf aferen sampai transmisi
tersebut berakhir di bagian kornu dorsalis medulla spinalis.
Di dalam kornu dorsalis, neurotransmitter, seperti substansi P
dilepaskan, sehingga menyebabkan suatu transmisi sinapsis dari saraf perifer
(sensori) ke saraf traktus spinotalamus (Paice, 1991). Hal ini
memungkinkan impuls nyeri ditransmisikan lebih jauh ke dalam sistem saraf
pusat. Stimulus nyeri berjalan melalui serabut saraf di traktus
spinotalamus yang menyeberangi sisi yang berlawanan dengan medulla
spinalis. Impuls nyeri kemudian berjalan ke arah medulla spinalis.
Setelah impuls nyeri naik ke medulla spinalis, maka informasi
ditransmisikan dengan cepat ke pusat yang lebih tinggi di otak, termasuk
pembentukan retikular, sistem limbik, talamus, dan korteks sensori dan korteks
asosiasi.
Seiring dengan transmisi stimulus nyeri, tubuh mampu
menyesuaikan diri atau memvariasikan resepsi nyeri. Terdapat serabut-serabut
saraf di traktus spinotalamus yang berakhir di otak tengah, menstimulasi
daerah tersebut untuk mengirim stimulus kembali ke bawah kornu dorsalis
di medulla spinalis (Paice,1991). Serabut ini disebut sistem nyeri
desenden, yang bekerja dengan melepaskan neuroregulator yang menghambat
transmisi stimulus nyeri.
Respons refleks protektif juga terjadi dengan resepsi nyeri.
Serabut delta-A mengirim impuls sensori ke medulla spinalis, tempat sinaps
dengan neuron motorik. Impuls motorik menyebar melalui sebuah lengkung refleks
bersama serabut saraf eferen (motorik) kembali ke suatu otot perifer dekat
lokasi stimulasi. Kontraksi otot menyebabkan individu menarik diri dari sumber
nyeri sebagai usaha untuk melindungi diri. Misalnya, apabila tangan seseorang
dengan tidak sengaja menyentuh sebuah besi panas, maka akan merasakan sensasi terbakar,
tetapi tangannya juga segera melakukan refleks dengan menarik tangannya dari
permukaan besi tersebut. Apabila serabut-serabut superfisial di kulit
distimulasi, maka individu akan menjauh dari sumber nyeri. Apabila jaringan
internal, seperti membran mukosa atau otot terstimulasi, maka otot akan
memendek dan menegang.
Resepsi nyeri membutuhkan sistem saraf perifer dan medulla
spinalis yang utuh. Faktor-faktor umum yang mengganggu resepsi nyeri normal
meliputi trauma, obat-obatan, pertumbuhan tumor, dan gangguan metabolik.
Neuroregulator atau substansi yang mempengaruhi transmisi
stimulus saraf memegang peranan yang penting dalam suatu pengalaman nyeri.
Substansi ini ditemukan di lokasi nosiseptor, di terminal saraf di dalam kornu
dorsalis pada medulla spinalis. Neuroregulator dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu neurotransmitter, seperti substansi P mengirim impuls listrik melewati
celah sinaps di antara dua serabut saraf. Serabut saraf tersebut adalah serabut
eksitator atau inhibitor. Neuromodulator memodifikasi aktivitas neuron dan
menyesuaikan atau memvariasikan transmisi stimulus nyeri tanpa secara langsung
mentransfer tanda saraf melalui sebuah sinaps. Neuromodulator diyakini tidak
bekerja secara langsung, yakni dengan meningkatkan dan menurunkan efek
neurotransmitter tertentu. Endofrin merupakan salah satu contoh neuromodulator.
Terapi farmakologis untuk nyeri secara luas berdasarkan pada pengaruh
obat-obatan yang dipilih pada neuroregulator.
Peneliti mengetahui bahwa tidak ada pusat nyeri tertentu di
sistem saraf. Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965)
mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme
pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan dapat
ditemukan di sel-sel gelantinosa substansia di dalam kornu dorsalis
pada medulla spinalis, talamus, dan sistem limbik (Clancy dan McVicar, 1992).
Dengan memahami hal-hal yang dapat mempengaruhi pertahanan ini, maka perawat
dapat memperoleh konsep kerangka kerja yang bermanfaat untuk penanganan nyeri.
Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan
dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup
pertahanan tersebut merupakan dasar terapi menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut
kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C
melepaskan substansi P untuk mentransmisi impuls melalui mekanisme pertahanan.
Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih
cepat yang melepaskan neurotransmitter penghambat. Apabila masukan yang dominan
berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini
mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung
klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor.
Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta-A dan serabut C, maka
akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan
jika impuls nyeri dihantar ke otak, terdapat pusat korteks yang lebih tinggi di
otak yang memodifikasi persepsi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiate
endogen, seperti endofrin dan dinorfin, suatu pembuluh nyeri alami yang berasal
dari tubuh. Neuromodulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat
pelepasan substansi P. Teknik distraksi, konseling, dan pemberian placebo
merupakan upaya untuk melepaskan endofrin. Peneliti tidak mengetahui bagaimana
individu dapat mengaktifkan endofrin mereka.
1. Persepsi
Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri.
Stimulus nyeri ditransmisikan naik ke medulla spinalis ke talamus dan otak
tengah. Dari talamus, serabut mentransmisikan pesan nyeri ke berbagai area
otak, termasuk korteks sensori dan korteks asosiasi (di kedua lobus parietalis),
lobus frontalis, dan sistem limbik (Paice, 1991). Ada sel-sel di dalam sistem
limbik yang diyakini mengontrol emosi, khususnya untuk ansietas. Dengan
demikian, sistem limbik berperan aktif dalam memproses reaksi emosi terhadap
nyeri. Setelah transmisi saraf berakhir di dalam pusat otak yang lebih tinggi,
maka individu akan mempersepsikan sensasi nyeri.
Pada saat individu menjadi sadar akan nyeri, maka akan
terjadi reaksi yang kompleks. Faktor-faktor psikologis dan kognitif
berinteraksi dengan faktor-faktor neurofisiologis dalam mempersepsikan nyeri.
Meinhart dan McCaffery (1983) menjelaskan tiga sistem interaksi persepsi nyeri
sebagai sensori-diskriminatif, motivasi-adektif, dan kognitif-evaluatif.
Persepsi menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian
individu dapat bereaksi.
2. Reaksi
Reaksi terhadap nyeri merupakan respons fisiologis dan
perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri.
Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke
batang otak dan talamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai
bagian dari respons stres. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan
nyeri yang superficial menimbulkan reaksi “flight-atau-fight”,
yang merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada
sistem saraf otonom menghasilkan respons fisiologis. Apabila nyeri berlangsung
terus-menerus, berat, atau dalam, dan secara tipikal melibatkan organ-organ
viseral (seperti nyeri pada infark miokard, kolik akibat kandung empedu atau
batu ginjal), sistem saraf parasimpatis menghasilkan suatu aksi. Respons
fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan individu. Kecuali pada
kasus-kasus nyeri traumatik yang berat, yang menyebabkan individu mengalami
syok, kebanyakan individu mencapai tingkat adaptasi, yaitu tanda-tanda fisik
menjadi normal. Dengan demikian, klien yang mengalami nyeri tidak akan selalu
memperlihatkan tanda-tanda fisik.
Pada saat nyeri dirasakan, pada saat itu juga dimulai suatu
siklus, yang apabila tidak diobati atau tidak dilakukan upaya untuk menghilangkannya,
dapat mengubah kualitas kehidupan individu secara bermakna. Mahon (1994)
mencatat bahwa nyeri dapat memiliki sifat yang mendominasi, yang mengganggu
kemampuan individu berhubungan dengan orang lain dan merawat diri sendiri.
Komponen reaksi nyeri membantu dalam menjelaskan mengapa penatalaksanaan nyeri
dapat merupakan suatu tantangan. Meinhart dan McCaffery (1983) mendeskripsikan
tiga fase pengalaman nyeri : antisipasi, sensasi, dan akibat (aftermath).
Fase antisipasi terjadi sebelum mempersepsikan nyeri. Seorang individu
mengetahui nyeri akan terjadi. Fase antisipasi mungkin bukan merupakan fase
yang paling penting, karena fase tersebut dapat mempengaruhi dua fase yang
lain. Dalam situasi cedera traumatik atau dalam prosedur nyeri yang tidak
terlihat, individu tidak akan dapat mengantisipasi nyeri.
Sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Individu
bereaksi terhadap nyeri dengan cara yang berbeda-beda. Toleransi individu
terhadap nyeri merupakan titik yaitu terdapat suatu ketidakinginan untuk
menerima nyeri dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi dan durasi yang lebih
lama. Toleransi tergantung pada sikap, motivasi, dan nilai yang diyakini
seseorang.
Gerakan tubuh yang khas dan ekspresi wajah yang
mengindikasikan nyeri meliputi menggeretakkan gigi, memegang bagian tubuh yang
terasa nyeri, postur tubuh membengkok, dan ekspresi wajah yang menyeringai.
Seorang klien mungkin menangis atau mengaduh, gelisah, atau sering memanggil
perawat. Perawat dengan segera akan belajar mengenai pola perilaku yang
menunjukkan nyeri. Namun, kurangnya ekspresi nyeri, seperti yang terjadi pada
klien yang bingung, tidak selalu berarti bahwa klien tidak mengalami nyeri.
Kecuali klien tidak bereaksi secara terbuka terhadap nyeri, akan sulit untuk
menentukan sifat dan tingkat ketidaknyamanan yang klien rasakan.
Fase akibat (aftermath) nyeri terjadi ketika nyeri
berkurang atau berhenti. Bahkan walaupun sumber nyeri dikontrol, seorang klien
mungkin masih memerlukan perhatian perawat karena nyeri merupakan suatu krisis.
2.4.4 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Karena nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, banyak faktor
yang mempengaruhi pengalaman nyeri individu. Perawat mempertimbangkan semua
faktor mempengaruhi klien yang merasakan nyeri. Hal ini sangat dalam upaya
untuk memastikan bahwa perawat menggunakan pendekatan yang holistik dalam
pengkajian dan perawatan klien yang mengalami nyeri (Potter &
Perry,2005:1511).
1. Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di
antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana bereaksi terhadap nyeri.
2. Jenis
Kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna
dalam berespons terhadap nyeri (Gil, 1990). Diragukan apakah hanya jenis
kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam pengekspresian nyeri.
3. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima
oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri
(Calvillo dan Flaskerud, 1991).
4. Makna
nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini
dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu
akan mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut
memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan.
5. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri
dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan
nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan
respons nyeri yang menurun (Gil, 1990). Konsep ini merupakan salah satu konsep
yang perawat terapkan di berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti
relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided imagery), mendengarkan
musik, dan masase. Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada
stimulus yang lain, maka perawat menempatkan nyeri pada kesadaran yang perifer.
Biasanya, hal ini menyebabkan toleransi nyeri individu meningkat, khususnya
terhadap nyeri yang berlangsung hanya selama waktu distraksi.
6. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks.
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan suatu perasaan ansietas.
7. Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan
menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping.
8. Pengalaman
sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman
nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima
nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak
lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh atau
menderita nyeri yang berat, maka ansietas atau bahkan rasa takut dapat muncul.
Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri, dengan jenis yang sama
berulang-ulang, tetapi kemudian nyeri tersebut dengan berhasil dihilangkan,
akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk menginterpretasikan sensasi
nyeri. Akibatnya, klien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk menghilangkan nyeri.
9. Gaya
koping
Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian maupun
keseluruhan/total. Klien seringkali menemukan berbagai cara untuk mengembangkan
koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri. Penting untuk memahami
sumber-sumber koping klien selama ia mengalami nyeri. Sumber-sumber seperti
berkomunikasi dengan keluarga pendukung, melakukan latihan, atau menyanyi dapat
digunakan dalam rencana asuhan keperawatan dalam upaya mendukung klien dan
mengurangi nyeri sampai tingkat tertentu.
10. Dukungan
keluarga dan sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respons nyeri ialah
kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka terhadap klien.
Individu dari kelompok sosiobudaya yang berbeda memiliki harapan yang berbeda
tentang orang tempat mereka menumpahkan keluhan mereka tentang nyeri (Meinhart
dan McCaffery, 1983). Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung
kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan,
atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap dirasakan klien, kehadiran orang yang
dicintai klien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada
keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri membuat klien semakin
tertekan.
2.5
Konsep Dasar Lansia
2.5.1 Definisi Lansia
Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia,
merupakan bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan
dialami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu mengalami
banyak perubahan baik secara fisik maupun mental, khususnya
kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya.
Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuaan normal, seperti rambut
yang mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di wajah, berkurangnya ketajaman
panca indera, serta kemunduran daya tahan tubuh, merupakan acaman bagi
integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan kehilangan-kehilangan
peran diri, kedudukan sosial, serta perpisahan dengan orang-orang yang
dicintai. Semua hal tersebut menuntut kemampuan beradaptasi yang
cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak (Soejono, 2000).
Pengertian lansia (Lanjut Usia) adalah fase menurunnya
kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam
hidup. Sebagai mana di ketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia
mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup
berubah, seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi ini, dan memasuki
selanjutnya, yaitu usia lanjut, kemudian mati. Bagi manusia yang normal, siapa
orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan
mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya (Darmojo, 2004).
Pengertian lansia (lanjut usia) menurut UU No. 4 Tahun 1965
adalah seseorang yang mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah
sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang
lain (Wahyudi, 2000) sedangkan menurut UU No. 12 tahun 1998 tentang
kesejahteraan lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang telah mencapai usia
diatas 60 tahun (Depsos, 1999). Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima
sebagai suatu kenyataan dan fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri
dengan proses penuaan yang berakhir dengan kematian (Hutapea, 2005).
2.5.2 Definisi Menua
Penuaan adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan. Menua (menjadi
tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap infeksi daan memperbaiki kerusakan yang diderita. Seiring dengan pross menua tersebut,
tubuh akan mengalami berbagai masalaah kesehatan yang biasa disebut sebagai
penyakit degenerative (Constantinides,
1994 dalam Maryam R. Siti, dkk, 2008).
Penuaan adalah suatu prose salami yang tidak dapat di hindari, berjalan terus menerus dan
berkesinambungan.selanjutnya akan
menyebabkan perubahan anatomis,
fisionologi dan biokimia pada tubuh sehingga akan mempengaruhi fungsi
dan kemampuan tubuh secara keseluruhan c
Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi
merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam maupun dari luar tubuh. Sebenarnya tidak ada batas yang tegas, pada usia
berapa penampilan seseorang mulai menurun. Pada setiap orang, fungsi fisiologis
alat tubuhnya sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak maupun saat
menurunnya. (Nugroho, W. 2000)
2.5.3 Batasan Lanjut Usia
1. Batasan
umur lansia menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) Lanjut usia meliputi :
a. Usia
pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun
b. Lanjut
usia (elderly) = antara 60 sampai 74 tahun
c. Lanjut
usia tua (old) = antara 75 sampai 90 tahun
d. Usia
sangat tua (very old) = diatas 90 tahun
2. Menurut
Dra. Ny. Jos Masdani (psikolog UI)
Lanjut
usia merupakan kelanjutan daari usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi menjadi 4
bagian :
a. Fase
iuventus, antara 25 sampai 40 tahun
b. Fase
vertilitas, antara 40 sampai 50 tahun
c. Fase
prasenium, antara 55 sampai 64 tahun
d. Fase
senium, 65 tahun hingga tutup usia
3. Departemen
Kesehatan RI mengklasifikasikan lanjut usia sebagai berikut:
a. Pralansia
(prasenilis)
Seseorang
yang berusia antara 45-59 tahun.
b. Lansia
Seseorang
yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia
risiko tinggi
Seseorang
yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003).
d. Lansia
potensial
Lansia
yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan
barang/jasa (Depkes RI, 2003).
e. Lansia
tidak potensial
Lansia
yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan
orang lain (Depkes RI, 2003).
4. Menurut
UU No. 4 tahun 1965 pasal 1 dinyatakan sebagai berikut: “seorang dapat
dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan
mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah
sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafksh dari oraang
lain. (Nugroho, 2000).
2.5.4 Tipe Lanjut Usia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter,
pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya
(Nugroho, 2000 dalam buku R. Siti Maryam, dkk, 2008).
Tipe
tersebut dapat dibagi sebagai berikut:
1.
Tipe arif bijaksana
Kaya
dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai
kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan,
dan menjadi panutan.
2.
Tipe mandiri
Mengganti
kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan,
bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
3.
Tipe tidak puas
Konflik
lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar,
mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak menuntut.
4.
Tipe pasrah
Menerima
dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa
saja.
5.
Tipe bingung
Kaget,
kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder,
menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe
konstruktif, tipe dependen (ketergantungan), tipe defensif (bertahan), tipe
militant dan serius, tipe pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam
melakukan sesuatu), serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri).
Sedangkan bila dilihat dari tingkat kemandiriannya
yang dinilai berdasarkan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari
(indeks kemandirian Katz), para lansia dapat digolongkan menjadi beberapa tipe
yaitu lansia mandiri sepenuhnya, lansia mandiri dengan bantuan langsung
keluarganya, lansia mandiri dengan bantuan secara tidak langsung, lansia dengan
bantuan badan sosial, lansia dip anti werda, lansia yang dirawat di rumah
sakit, dan lansia dengan gangguan mental.
2.5.5 Teori-Teori Proses Menua
Beberapa
teori-teori proses menua (Maryam. R.
Siti dkk, 2008):
1. Teori
biologi
Teori
biologi mencangkup teori genetic dan mutasi, immunology, teori stress, teori
radikal bebas, dan teori rantai silang.
a. Teori
genetic dan mutasi
Menurut teori genetic dan mutasi, menua
terprogram secara genetic untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai
akibat dari perubahan biokimia yang di program oleh molekul DNA dan seetiap sel
pada saatnya akan mengalami mutasi
sebagi contoh yang khas adalah mutasi dari sel-sel kelamin (terjadi
penurunan kemaampuan fungsi sel).
Terjadi pengumpulan pigmenatau lemak
dalam tubuh yangdisebut teori akumulasi dari produk sisa, sebagi contoh adalah
adanya figmen lipofusin di sel oto jantung dan sel-sel susunan saraf pusat pada
lansia yang mengakibatkan terganggunyaa fungsi sel itu sendiri.
Pada teori biologi dikenal dengan
istilah pemakaian dan perusakan (wear and
tear) yang terjadi karena kelebihan usaha dan stress yang menyebabkan
sel-sel tubuh menjadi lelah (pemakaian). Pada teori ini juga didapatkan
terjadinya peningkatan jumlah kolagen dalam tubuh lansia, tidak ada
perlindungan terhadap radiasi, penyakit.
b. Teori
Immunologis (Luecknotte, 1995)
Beberapa teori
menyatakan bahwa penurunan atau perubahan dalam keefektifan sistem imun
berperan dalam penuaan. Mekanisme seluler tidak teratur diperkirakan
menyebabkan seraangan pada jaringan tubuh melalui imunodefisiensi atau
penurunan imun.
Tubuh akan kehilangan kemampuan untuk
membedakan proteinnya sendiri dengan protein asing, sistem imun menyerang dan
mengahancurkan bakteri, virus dan jamur melemah. Bahkan sistem ini mungkin
tidak memulai serangannya sehingga sel mutasi terbentuk beberapa kali. Semakin
bertambahnya usia, fungsi sistem imun kehilangan keefektifan, imunodefisiensi
berhubungan dengan penurunan fungsi.
c. Teori
Stress
Teori stress mengungkapkan menua terjadi
akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan oleh tubuh. Regenarasi jaringan
tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan
stress yang menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
d. Teori
radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam
bebas,tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi
oksigen bahan-bahan organic seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini
menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenarasi.
e. Teori
rantai silang
Pada teorri rantai silang di ungkapkan
bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua atau rusak menyebabkan ikatan yang kuat,
khususnya jaringan kolagen, ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas,
kekacauan daan hilangnya fungsi sel.
2. Teori
Psikologis
a. Teori
Pelepasan
Teori pelepasan memberikan pandangan
bahwa penyesuaian diri lansia, merupakan suatu proses yang secara
berangsur-angsur sengaja dilakukan oleh mereka, untuk melepaskan diri dari
masyarakat.
b. Teori
Aktivitas
Teori aktivitas berpandangan bahwa
walaupun lansia pasti terbebas dari aktivitas, tetapi mereka secara bertahap
mengisi waktu luangnya dengan melakukan aktivitas lain sebagai kompensasi dan
penyesuai untuk menghadapi hari tua.
2.5.6 Mitos dan Stereotip Seputar Lanjut
Usia
Menurut Sheiera Saul, 1974 mitos-mitos seputar
lansia antara lain sebagai berikut:
1.
Mitos kedamaian dan ketenangan
Adanya
anggapan bahwa para lansia dapat santai menikmati hidup, hasil kerja, dan jerih
payahnya di masa muda. Berbagai guncangan kehidupan seakan-akan sudah berhasil
dilewati. Kenyataannya, sering ditemui lansia yang mengalami stress karena
kemiskinan dan berbagai keluhan serta penderitaan karena penyakit.
2.
Mitos konservatif dan kemunduran
Konservatif
berarti kolot, bersikap mempertahankan kebiasaan, tradisi, dan keadaan yang
berlaku. Adanya anggapan bahwa para lansia itu tidak kreatif, menolak inovasi,
berorientasi ke masa silam, kembali ke masa kanak-kanak, sulit berubah, keras
kepala, dan cerewet. Kenyataannya, tidak semua lansia bersikap dan mempunyai
pemikiran demikian.
3.
Mitos berpenyakitan
Adanya
anggapan bahwa masa tua dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang
disertai berbagai penyakit dan sakit-sakitan. Kenyataannya, tidak semua lansia
berpenyakitan. Saat ini sudah banyak jenis pengobatan serta lansia yang rajin
melakukan pemeriksaan berkala sehingga lansia tetap sehat dan bugar.
4.
Mitos senilitas
Adanya
anggapan bahwa para lansia sudah pikun. Kenyataannya, banyak yang masih tetap
cerdas dan bermanfaat bagi masyarakat, karena banyak cara untuk menyesuaikan
diri terhadap penurunan daya ingat.
5.
Mitos tidak jatuh cinta
Adanya
anggapan bahwa para lansia sudah tidak lagi jatuh cinta dan bergairah kepada
lawan jenis. Kenyataannya, perasaan dan emosi setiap orang berubah sepanjang masa
serta perasaan cinta tidak berhenti hanya karena menjadi tua.
6.
Mitos aseksualitas
Adanya
anggapan bahwa pada lansia hubungan seks menurun, minat, dorongan, gairah,
kebutuhan, dan daya seks berkurang. Kenyataannya, kehidupan seks para lansia
normal-normal saja dan tetap bergairah, hal ini dibuktikan dengan banyaknya
lansia yang ditinggal mati oleh pasangannya, namun masih ada rencana untuk
menikah lagi.
7.
Mitos ketidakproduktifan
Adanya
anggapan bahwa para lansia tidak produktif lagi. Kenyataannya, banyak para
lansia yang mencapai kematangan, kemantapan, dan produktivitas mental maupun
material.
Mitos-mitos di atas harus disadari perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan, karena banyak kondisi lansia yang sesuai dengan
mitos tersebut dan sebagian lagi tidak mengalaminya.
2.5.7 Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lanjut Usia
Banyak
kemampuan berkurang pada saat orang bertambah tua. Dari ujung rambut sampai
ujung kaki mengalami perubahan dengan makin bertambahnya umur. Menurut Nugroho
(2000) perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut:
1.
Perubahan
Fisik
a.
Sel
Jumlahnya
menjadi sedikit, ukurannya lebih besar, berkurangnya cairan intra seluler,
menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, dan hati, jumlah sel otak
menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel.
b.
Sistem
Persyarafan
Respon
menjadi lambat dan hubungan antara persyarafan menurun, berat otak menurun
10-20%, mengecilnya syaraf panca indra sehingga mengakibatkan berkurangnya
respon penglihatan dan pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman dan perasa,
lebih sensitif terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap dingin rendah, kurang
sensitif terhadap sentuhan.
c.
Sistem
Penglihatan
Menurun
lapang pandang dan daya akomodasi mata, lensa lebih suram (kekeruhan pada
lensa) menjadi katarak, pupil timbul sklerosis, daya membedakan warna menurun.
d.
Sistem
Pendengaran
Hilangnya
atau turunnya daya pendengaran, terutama pada bunyi suara atau nada yang
tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia
diatas umur 65 tahun, membran timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.
e.
Sistem
Kardiovaskuler
Katup
jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung menurun 1% setiap tahun
sesudah berumur 20 tahun, kehilangan sensitivitas dan elastisitas pembuluh
darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi perubahan
posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bisa menyebabkan tekanan darah
menurun menjadi 65 mmHg dan tekanan darah meninggi akibat meningkatnya
resistensi dari pembuluh darah perifer, sistole normal ±170 mmHg, diastole
normal ± 95 mmHg.
f.
Sistem
Pengaturan Temperatur Tubuh
Pada
pengaturan suhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu thermostat yaitu
menetapkan suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi beberapa faktor yang
mempengaruhinya yang sering ditemukan antara lain: temperatur tubuh menurun,
keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak
sehingga terjadi rendahnya aktifitas otot.
g.
Sistem
Respirasi
Paru-paru
kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik nafas lebih berat,
kapasitas pernafasan maksimum menurun dan kedalaman nafas turun. Kemampuan
batuk menurun (menurunnya aktivitas silia), O2 arteri menurun
menjadi 75 mmHg, CO2 arteri tidak berganti.
h.
Sistem
Gastrointestinal
Banyak
gigi yang tanggal, sensitivitas indra pengecap menurun, pelebaran esophagus,
rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu pengosongan menurun,
peristaltik lemah, dan sering timbul konstipasi, fungsi absorbsi menurun.
i.
Sistem
Genitourinaria
Otot-otot
pada vesika urinaria melemah dan kapasitasnya menurun sampai 200 mg, frekuensi
BAK meningkat, pada wanita sering terjadi atrofi vulva, selaput lendir
mongering, elastisitas jaringan menurun dan disertai penurunan frekuensi
seksual intercrouse berefek pada seks sekunder.
j.
Sistem
Endokrin
Produksi
hampir semua hormon menurun (ACTH, TSH, FSH, LH), penurunan sekresi hormon
kelamin misalnya: estrogen, progesterone, dan testoteron.
k.
Sistem
Kulit
Kulit
menjadi keriput dan mengkerut karena kehilangan proses keratinisasi dan
kehilangan jaringan lemak, berkurangnya elastisitas akibat penurunan cairan dan
vaskularisasi, kuku jari menjadi keras dan rapuh, kelenjar keringat berkurang
jumlah dan fungsinya, perubahan pada bentuk sel epidermis.
l.
Sistem
Muskuloskeletal
Tulang
kehilangan cairan dan rapuh, kifosis, penipisan dan pemendekan tulang,
persendian membesar dan kaku, tendon mengkerut dan mengalami sclerosis, atropi
serabut otot sehingga gerakan menjadi lamban, otot mudah kram dan tremor.
2.
Perubahan
Mental
Faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan mental adalah:
a.
Perubahan
fisik.
b.
Kesehatan
umum.
c.
Tingkat
pendidikan.
d.
Hereditas.
e.
Lingkungan.
f.
Perubahan
kepribadian yang drastis namun jarang terjadi misalnya kekakuan sikap.
g.
Kenangan,
kenangan jangka pendek yang terjadi 0-10 menit.
h.
Kenangan
lama tidak berubah.
i.
Tidak
berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal, berkurangnya
penampilan, persepsi, dan ketrampilan psikomotor terjadi perubahan pada daya
membayangkan karena tekanan dari faktor waktu.
3.
Perubahan
Psikososial
a.
Perubahan
lain adalah adanya perubahan psikososial yang menyebabkan rasa tidak aman,
takut, merasa penyakit selalu mengancam sering bingung panik dan depresif.
b.
Hal
ini disebabkan antara lain karena ketergantungan fisik dan sosioekonomi.
c.
Pensiunan,
kehilangan financial, pendapatan berkurang, kehilangan status, teman atau
relasi.
d.
Sadar
akan datangnya kematian.
e.
Perubahan
dalam cara hidup, kemampuan gerak sempit.
f.
Ekonomi
akibat perhentian jabatan, biaya hidup tinggi.
g.
Penyakit
kronis.
h.
Kesepian,
pengasingan dari lingkungan sosial.
i.
Gangguan
syaraf panca indra.
j.
Gizi
k.
Kehilangan
teman dan keluarga.
l.
Berkurangnya
kekuatan fisik.
2.5.8 Permasalahan Pada Lansia
Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan
pencapaian kesejahteraan lansia antara lain (Setiabudi, 1999: 40-42):
1. Permasalahan
Umum
a. Makin
besarnya jumlah lansia yang berada dibawah garis kemiskinan.
b. Makin
melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut
kurang diperhatikan, dihargai, dan dihormati.
c. Lahirnya
kelompok masyarakat industri.
d. Masih
rendahnya kualitas dan kuantitas tenaga profesional pelayanan lansia.
e. Belum
membudaya dan melembaganya pembinaan kesejahteraan lansia.
2. Permasalahan
Khusus
a. Berlangsungnya
proses menua yang berakibat timbulnya masalah baik fisik, mental maupun sosial.
b. Berkurangnya
integrasi sosial lansia.
c. Rendahnya
produktivitas kerja lansia.
d. Banyaknya
lansia yang miskin, terlantar, dan cacat.
e. Berubahnya
nilai sosial masyarakat yang mengarah pada tatanan masyarakat individualistik.
f. Adanya
dampak negatif dari proses pembangunan yang dapat mengganggu kesehatan fisik
lansia.
BAB
3
PEMBAHASAN
3.1
Faktor-faktor
yang mempengaruhi kemampuan motorik pada lansia
Kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan aktifitas
sehari-hari pada lansia adalah sebagian berikut:
3.1.1 Faktor-faktor
dari dalam diri sendiri
a. Umur
Kemampuan aktifitas
sehari-hari pada lanjut usia dipengaruhi dengan umur lanjut usia itu sendiri.
Semakin tua ketergantungannya semakin besar. Umur seseorang menunjukkan tanda
kemauan dan kemampuan, ataupun bagaimana seseorang bereaksi terhadap ketidakmampuan
melaksanakan aktifitas sehari-hari (Potter, 2005).
b. Kesehatan fisiologis
Kesehatan fisiologis
seseorang dapat mempengaruhi kemampuan partisipasi dalam aktifitas sehari-hari,
sebagai contoh sistem nervous menggumpulkan dan menghantarkan, dan mengelola
informasi dari lingkungan. Sistem muskuluskoletal mengkoordinasikan dengan
sistem nervous sehingga seseorang dapat merespon sensori yang masuk dengan cara
melakukan gerakan. Gangguan pada sistem ini misalnya karena penyakit, atau
trauma injuri dapat mengganggu pemenuhan aktifitas sehari-hari.
c. Fungsi kognitif
Kognitif adalah
kemampuan berfikir dan memberi rasional, termasuk proses mengingat, menilai,
orientasi, persepsi dan memperhatikan (Keliat,1995). Tingkat fungsi kognitif
dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
Fungi kognitif menunjukkan proses menerima, mengorganisasikan dan
menginterpestasikan sensor stimulus untuk berfikir dan menyelesaikan masalah.
Proses mental memberikan kontribusi pada fungsi kognitif yang meliputi
perhatian memori, dan kecerdasan. Gangguan pada aspek-aspek dari fungsi
kognitif dapat mengganggu dalam berfikir logis dan menghambat kemandirian dalam
melaksanakan aktifitas sehari-hari.
d. Fungsi psikologis
Fungsi psikologis
menunjukkan kemampuan seseorang untuk mengingat sesuatu hal yang lalu dan
menampilkan informasi pada suatu cara yang realistik. Proses ini meliputi
interaksi yang komplek antara perilaku interpersonal dan interpersonal.
Kebutuhan psikologis berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang. Meskipun
seseorang sudah terpenuhi kebutuhan materialnya, tetapi bila kebutuhan
psikologisnya tidak terpenuhi, maka dapat mengakibatkan dirinya merasa tidak
senang dengan kehidupanya, sehingga kebutuhan psikologi harus terpenuhi agar kehidupan
emosionalnya menjadi stabil (Tamher, 2009).
e. Tingkat stres
Stres merupakan respon
fisik non spesifik terhadap berbagai macam kebutuhan. Faktor yang menyebabkan
stress disebut stressor, dapat timbul dari tubuh atau lingkungan dan dapat
mengganggu keseimbangan tubuh. Stres dibutuhkan dalam pertumbuhan dan
perkembangan. Stres dapat mempunyai efek negatif atau positif pada kemampuan
seseorang memenuhi aktifitas sehari-hari (Miller, 1995).
3.1.2 Faktor-faktor
dari luar meliputi:
a. Lingkungan keluarga
Keluarga masih
merupakan tempat berlindung yang paling disukai para lanjut usia. Lanjut usia
merupakan kelompok lansia yang rentan masalah, baik masalah ekonomi, sosial,
budaya, kesehatan maupun psikologis, oleh karenanya agar lansia tetap sehat,
sejahtera dan bermanfaat, perlu didukung oleh lingkungan yang konduktif seperti
keluarga.
b. Lingkungan tempat
kerja
Kerja sangat
mempengaruhi keadaan diri dalam mereka bekerja, karena setiap kali seseorang
bekerja maka ia memasuki situasi lingkungan tempat yang ia kerjakan. Tempat
yang nyaman akan membawa seseorang mendorong untuk bekerja dengan senang dan
giat.
c. Ritme biologi
Waktu ritme biologi
dikenal sebagai irama biologi, yang mempengaruhi fungsi hidup manusia. Irama
biologi membantu mahluk hidup mengatur lingkungan fisik disekitarnya. Beberapa
faktor yang ikut berperan pada irama sakardia diantaranya faktor lingkungan
seperti hari terang dan gelap. Serta cuaca yang mempengaruhi aktifitas
sehari-hari. Faktor-faktor ini menetapkan jatah perkiraan untuk makan, bekerja.
3.2
Peningkatan
kualitas nyeri pada lansia
Peningkatan kualitas nyeri pada lansia terjadi
karena pada sistem muskuloskeletal telah terjadi penurunan fungsi yaitu tulang mengalami kehilangan cairan
dan rapuh, kifosis, penipisan dan pemendekan tulang, persendian membesar dan
kaku, tendon mengkerut dan mengalami sklerosis, atropi serabut otot sehingga
gerakan menjadi lamban, otot mudah kram dan tremor. Perubahan biologis dapat digunakan
sebagai pengukuran tidak langsung pada nyeri akut, tetapi respon biologis pada
nyeri akut dapat distabilkan dalam beberapa waktu karena tubuh dapat berusaha
memulihkan homeostatisnya. Sebagai contoh, pernapasan atau denyut nadi mungkin
menunjukkan beberapa perubahan yang kecil pada awal migrain jika terjadi
serangan yang tiba-tiba dan keras, tetapi beberapa waktu kemudian perubahan
tersebut akan kembali sebelum migrain tersebut menetap sekalipun migrainnya
berlangsung lama. Pengukuran fisiologis berguna dalam keadaan dimana pengukuran
secara observasi lebih sulit dilakukan. Yang termasuk dalam pengukuran
fisiologis adalah pemeriksaan denyut nadi, pernapasan, dll.
3.3
Faktor-faktor
yang mempengaruhi kemampuan motorik terhadap peningkatan kualitas nyeri pada
lansia
Postur tubuh
berhubungan secara bermakna dengan rasa nyeri pada lansia. Studi yang dilakukan
pada lansia berusia 70-93 tahun menunjukkan hasil yang konsisten postur tubuh berhubung secara bermakna dengan rasa
nyeri kronik. Dengan demikian lansia perlu dilatih supaya tubuhnya lebih lentur
untuk mengatasi rasa nyeri. Kondisi ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang
menyatakan adanya mitos yang berkembang bahwa nyeri pada lansia adalah sesuatu
yang biasa sehingga penderita berupaya untuk menutupi keluhan nyeri yang
dirasakan mengganggu. Namun penelitian di Swedia pada lansia berusia 65 tahun
ke atas menunjukkan 27,9% lansia yang menderita rasa nyeri tidak berupaya
mencari pengobatan. Hasil yang tidak
konsisten ini menunjukkan persepsi lansia terhadap rasa nyeri berbeda dan dipengaruhi
oleh budaya dan norma masyarakat.
Kebanyakan
lansia mengalami peningkatan kualitas nyeri ketika beraktifitas, seperti
berjalan, duduk, bekerja, dan lain sebagainya. Dan nyeri akan berkurang ketika
dibuat untuk beristirahat. Maka dari itu dari itu dapat ditarik kesimpulan
terdapat prevelansi yang kuat antara kemampuan motorik seorang lansia terhadap
peningkatan kualitas nyeri pada lansia.
Daftar pustaka
Anderson P. Syilvia. (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Lukman dan Nurnaningsih, 2009. Asuhan Keperawatan pada klien dengan
Gangguan Sistem Muskuluskeletal. Jakarta : Salemba Medika.
Potter,
Patricia A dan Anne G Perry. 2010. Fundamentals
Of Nursing Fundamental Keperawatn Buku 2 ed-7. Jakarta : Salemba Medika
Priharjo,
Robert. 1996. Pengkajian Fisik
Keperawatan. Jakarta : EGC
Smeltzer and
Bare. 2001. Buku Ajaran Keperawatan Medikel Bedah. Jakarta : EGC
Weiner,
Howard L.. 2000. Buku Saku Neurologi,
Cetakan I. Jakarta : EGC
AGS
Panel on Persistent Pain in Older Persons. The management of persistent pain in
older persons. J Am Geriatr Soc 2002;50 (6Suppl):S205-S224.
Bieri
D, Reeve RA, Champion CD, et al. The faces pain scale for the self-assessment
of the severity of pain experienced by children: development, initial
validation, and preliminary investigation for ratio scale properties. Pain 1990;41:139-150.
Diakses
pada tanggal 25 April 2013. Pukul 14.00
http://nurse87.wordpress.com/2012/04/20/pengkajian-sistem-muskuloskeletal/. Diakses
pada tanggal 25 April 2013 Pukul 14.00 wib.