Senin, 29 April 2013

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAMPUAN MOTORIK TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS NYERI PADA LANSIA



KEPERAWATAN SISTEM MUSKULOSKELETAL II
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAMPUAN MOTORIK TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS NYERI PADA LANSIA




Oleh:
Kelompok 8
1.      Dessy N Millata                                (101.0019)
2.      Dita Eka C                                        (101.0025)
3.      Ghora Kertapati                                (101.0047)
4.      Lailiyah Indri E.D                             (101.0057)
5.      Rahayu Aprilia W                             (101.0089)
6.      Septiananingsih                                 (101.0103)


PRODI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
2013



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Keberhasilan Pemerintahan dalam Pembangunan Nasional, telah mewujudkan hasil yang positif diberbagai bidang, yaitu adanya kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan penduduk serta meningkatkan umur harapan hidup manusia. Akibatnya jumlah penduduk yang berusia lanjut meningkat dan bertambah cenderung cepat. Banyaknya penyakit yang terjadi pada lansia yang dipengaruhi oleh proses penuaan, usia, status pekerjaan, makanan dan aktivitas fisik adalah penyakit hipertensi, diabetes melitus, kardiovaskuler dan penyakit rematik. Nyeri kronik merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi pada lanjut usia (lansia). Permasalahan nyeri pada lansia adalah kesulitan menegakkan diagnosis dan menentukan terapi, sehingga memperberat penyakit yang mendasari. Penatalaksanaan medis kasus nyeri pada lansia seringkali terjadi kegagalan. Penyebab utama kegagalan tersebut adalah adanya beberapa keyakinan yang tidak tepat, yaitu nyeri pada lansia adalah sesuatu yang normal dan tidak perlu penanganan medis profesional, penderita nyeri lansia lebih baik dalam mengatasi nyeri dibandingkan usia muda sehingga tidak perlu penanganan khusus, dan nyeri kronis mungkin dapat menyebabkan penderita lansia tidak nyaman tetapi tidak berbahaya.
Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni mencapai 18,1 juta jiwa pada 2010 atau 9,6 persen dari jumlah penduduk. Sementara itu, Umur Harapan Hidup (UHH) manusia Indonesia semakin meningkat dimana pada RPJMN Kemkes tahun 2014 diharapkan terjadi peningkatan UHH dari 70,6 tahun pada 2010 menjadi 72 tahun pada 2014 yang akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur usia penduduk.
Menurut proyeksi Bappenas jumlah penduduk lansia 60 tahun atau lebih akan meningkat dari 18.1 juta pada 2010 menjadi dua kali lipat (36 juta) pada 2025. Sekitar 25-50% dari jumlah lansia yang tinggal di masyarakat menderita nyeri kronik, sedangkan yang tinggal di panti jompo sekitar 45-80%. Kejadian nyeri pada lansia sebesar 250 orang per 1000 penduduk, sedangkan pada usia di bawah 60 tahun hanya sebesar 125 per 1000 penduduk. Sebanyak 45% lansia yang minum analgesik secara teratur telah mengunjungi lebih dari 3 dokter dalam 5 tahun terakhir dan 70% dari dokter tersebut adalah dokter umum.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penatalaksanaan nyeri pada lansia adalah berkurangnya rasa nyeri pada lansia sehingga penyakit-penyakit tertentu yang biasanya disertai nyeri pada orang dewasa ternyata pada lansia didapati nyeri yang ringan bahkan tanpa nyeri misalnya sebahagian lansia yang mengalami serangan jantung koroner dapat menderita nyeri dada atau tanpa nyeri sehingga menyulitkan bagi dokter untuk mengetahui penyakitnya dan oleh karena itu terlambat menanganinya. Selain dari pada itu, berbagai kelainan jiwa dan saraf sering menyertai nyeri pada lansia, sehingga dapat menyulitkan dokter di dalam menilai nyeri, juga efek samping obat analgesik sering terjadi pada lansia.
Hilangnya neuron yang kontinyu pada otak dan korda spinalis terjadi sebagai bagian dari proses menua yang normal. Hal ini mengakibatkan perubahan pada orang dewasa yang berusia >65 tahun yang seringkali diinterpretasikan sebagai hal yang abnormal pada individu yang lebih muda. Kecepatan konduksi saraf menurun antara 5-10% sebagai akibat dari proses menua. Hal ini kemudian akan menurunkan waktu respon dan memperlambat transmisi impuls, sehingga menurunkan persepsi sensori sentuh dan nyeri.
Nyeri adalah keluhan yang umum pada pasien lanjut usia, tetapi mereka mungkin tidak melaporkannya karena beberapa sebab. Penilaian nyeri pada pasien ini harus didahului dengan evaluasi kemampuan pendengaran, penglihatan, bicara dan sensorik. Gangguan atau kelainan pada indera tersebut dapat mempengaruhi secara bermakna cara penilaian nyeri dilakukan. Nyeri merupakan pengalaman subyektif yang dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia termasuk gangguan kemampuan fisiknya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan motorik terhadap peningkatan kualitas nyeri pada lansia.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan motorik pada lansia?
2.    Bagaimanakah gambaran peningkatan kualitas nyeri pada lansia?
3.    Apakah kemampuan motorik mempengaruhi peningkatan kualitas nyeri pada lansia?

1.3  Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan motorik pada lansia.
2.      Untuk mengetahui gambaran peningkatan kualitas nyeri pada lansia.
3.      Untuk mengetahui hubungan kemampuan motorik dengan peningkatan kualitas nyeri pada lansia.

















BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Konsep Kemampuan
Kemampuan di  dalam  kamus  bahasa  Indonesia,  kemampuan  berasal  dari kata “mampu”  yang  berarti  kuasa  (bisa,  sanggup,  melakukan  sesuatu, dapat,  berada, kaya,  mempunyai  harta  berlebihan).  Kemampuan adalah  suatu  kesanggupan, dalam  melakukan  sesuatu.  Seseorang dikatakan  mampu  apabila  ia  bisa  melakukan  sesuatu  yang  harus  ia lakukan.
Menurut  Chaplin (kemampuan, kecakapan,  ketangkasan,  bakat, kesanggupan) merupakan  tenaga  (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan. Sedangkan menurut  Robbins  kemampuan  bisa  merupakan  kesanggupan  bawaan  sejak  lahir, atau  merupakan hasil latihan atau praktek.
Ada  pula  pendapat  lain  menurut  Akhmat  Sudrajat menghubungkan kemampuan dengan  kata  kecakapan.  Setiap individu  memiliki  kecakapan  yang berbeda-beda dalam  melakukan suatu  tindakan.  Kecakapan  ini  mempengaruhi potensi  yang  ada dalam  diri  individu  tersebut.  Proses  pembelajaran mengharuskan siswa mengoptimalkan  segala  kecakapan  yang  dimiliki
Berikut pengetian kemampuan dari skripsi Endri Meylasari:  Mampu berarti kuasa (bisa, sanggup) melakukan sesuatu; dapat; berada;  kaya; mempunyai harta berlebih. Kemampuan adalah kesanggupan; kecakapan; kekuatan (Depdikbud, 1999:623). Seseorang dikatakan mampu apabila ia bisa atau sanggup melakukan sesuatu yang harus ia lakukan. Kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan adalah sebuah penilaian terkini atas apa yang dapat dilakukan seseorang. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah kapasitas kesanggupan atau kecakapan seorang individu dalam melakukan sesuatu hal atau beragam tugas dalam suatu pekerjaan tertentu.
Menurut Mohammda Zain dalam Milman Yusdi (2010:10) mengartikan bahwa Kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kakuatan kita berusaha dengan diri sendiri. Sedangkan Anggiat M.Sinaga dan Sri Hadiati (2001:34) mendefenisikan kemampuan sebagai suatu dasar seseorang yang dengan sendirinya berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan secara efektif atau sangat berhasil.
Sementara itu, Robbin (2007:57) kemampuan berarti kapasitas seseorang individu unutk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. lebih lanjut Robbin menyatakan bahwa kemampuan (ability) adalah sebuah penilaian terkini atas apa yang dapat dilakukan seseorang. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah kapasitas kesanggupan atau kecakapan seorang individu dalam melakukan sesuatu hal atau beragam tugas dalam suatu pekerjaan tertentu.
Menurut kamus bahasa Indonesia kemampuan adalah kesanggupan untuk melakukan sesuatu. Aktifitas adalah suatu usaha energi atau keadaan bergerak dimana manusia memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, Aktifitas didefinisikan suatu aksi energetic atau keadaan bergerak semua manusia memerlukan kemampuan untuk bergerak (Potter, 2005). Penilaian aktifitas sehari-hari sangat penting dalam menentukan tingkat bantuan yang diperlukan setiap hari, dan penilaian ini sangat membantu dalam perencanaan perawatan jangka panjang untuk lansia. Demikian pula, evaluasi aktifitas sehari-hari penting dalam menentukan tingkat bantuan yang dibutuhkan oleh orang-orang di independen dari bantuan yang dibutuhkan oleh orang-orang dalam pengaturan independen atau semi-independen (Miller, 1995)
Aktifitas kehidupan sehari-hari (AKS) adalah aktifitas yang biasanya dilakukan dalam sepanjang hari normal. Aktifitas tersebut mencakup ambulasi, makan, berpakaian, mandi, menyikat gigi dan berhias (Potter, 2005). Salah satu tujuan dari penilaian dalam situasi penyalah gunaan adalah untuk menentukan perlunya intervensi hukum ketika selansia beresiko. Oleh karena itu, potensi penilaian seorang perawat kepada orang tersebut berfungsi baik dan sangat penting dalam aktifitas hidup sehari-hari (Miller, 1995). Aktifitas merupakan salah satu penilaian dalam kehidupan sehari-hari orang tua dalam melakukan tindakan yang perlu dilakukan secara benar. Aktifitas dan kegiatan produktif dapat meningkatkan kualitas dan usia hidup seseorang. Mereka yang lebih aktif secara sosial ternyata lebih sedikit yang meninggal lebih dini ketimbang mereka yang kurang aktif (Miller,1995).
Menurut Darmojo (1999), manfaat kemampuan aktifitas sehari-hari pada lansia adalah sebagai berikut:
a.    Meningkatkan kemampuan dan kemauan seksual lansia
b.    Kulit tidak cepat keriput atau menghambat proses penuaan
c.    Meningkatkan keelastisan tulang sehingga tulang tidak mudah patah
d.   Menghambat pengecilan otot dan mempertahankan atau mengurangi kecepatan penurunan kekuatan otot (Darmojo, 1999).

Menurut Leukenotte (1998), aktifitas sehari-hari terdiri dari:
a.    Mandi (spon, pancuran, atau bak)
Tidak menerima bantuan (masuk dan keluar bak mandi sendiri jika mandi dengan menjadi kebiasaan), menerima bantuan untuk mandi hanya satu bagian tubuh (seperti punggung atau kaki), menerima bantuan mandi lebih dari satu bagian tubuh (atau tidak dimandikan)
b.    Berpakaian
Mengambil baju dan memakai baju dengan lengkap tanpa bantuan, mengambil baju dan memakai baju dengan lengkap tanpa bantuan kecuali mengikat sepatu, menerima bantuan dalam memakai baju, atau membiarkan sebagian tetap tidak berpakaian.
c.    Ke kamar kecil
Pergi kekamar kecil membersihkan diri, dan merapikan baju tanpa bantuan (dapat mengunakan objek untuk menyokong seperti tongkat, walker, atau kursi roda, dan dapat mengatur bedpan malam hari atau bedpan pengosongan pada pagi hari, menerima bantuan kekamar kecil membersihkan diri, atau dalam merapikan pakaian setelah eliminasi, atau mengunakan bedpan atau pispot pada malam hari, tidak ke kamar kecil untuk proses eliminasi.
d.   Berpindah
Berpindah ke dan dari tempat tidur seperti berpindah ke dan dari kursi tanpa bantuan (mungkin mengunakan alat/objek untuk mendukung seperti tempat atau alat bantu jalan), berpindah ke dan dari tempat tidur atau kursi dengan bantuan, bergerak naik atau turun dari tempat tidur.
e.    Kontinen
Mengontrol perkemihan dan defekasi dengan komplit oleh diri sendiri, kadang-kadang mengalami ketidak mampuan untuk mengontrol perkemihan dan defekasi, pengawasan membantu mempertahankan control urin atau defekasi, kateter digunakan atau kontnensa.
f.     Makan
Makan sendiri tanpa bantuan, Makan sendiri kecuali mendapatkan bantuan dalam mengambil makanan sendiri, menerima bantuan dalam makan sebagian atau sepenuhnya dengan menggunakan selang atau cairan intravena.

2.2    Konsep Motorik
Motorik adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan-gerakan tubuh. Dalam perkembangan motorik, unsur-unsur yang menentukan ialah Otot, Saraf, dan Otak. Ketiga unsur itu melaksanakan masing-masing peranannya secara “interaksi positif”, artinya unsur-unsur yang satu saling berkaitan, saling menunjang, saling melengkapi dengan unsur yang lainnya untuk mencapai kondisi motoris yang lebih sempurna keadaannya. Selain mengandalkan kekuatan otot, rupanya kesempurnaan otak juga turut menentukan keadaan. Anak yang pertumbuhan otaknya mengalami gangguan tampak kurang terampil menggerak-gerakan tubuhnya. Motorik  merupakan perkembangan kemampuan melakukan/merespon suatu hal, jadi bertambahnya usia bertambah pula kemampuan motoriknya.
Motorik sebagai istilah umum untuk berbagai bentuk perilaku gerak manusia. Sedangkan psikomotorik khusus digunakan pada domain mengenai perkembangan manusia yang mencakup gerak manusia. Jadi motorik ruang lingkupnya lebih luas daripada psikomotorik. Meskipun secara umum motorik sinonim digunakan dengan istilah gerak, sebenarnya psikomotorik mengacu pada gerakan-gerakan yang dinamakan alih getaran elektorik dari pusat otot besar. Perkembangan merupakan istilah umum yang mengacu pada kemajuan dan kemunduran yang terjadi hingga akhir hayat. Pertumbuhan adalah aspek struktural dari perkembangan. Sedangkan kematangan berkaitan dengan perubahan fungsi pada perkembangan. Jadi, perkembangan meliputi semua aspek dari perilaku manusia, dan sebagai hasil hanya dapat dipisahkan kedalam periode usia. Dukungan pertumbuhan terhadap perkembangan sepanjang hidup merupakan sesuatu yang berarti. Oleh karena itu perlunya mempelajari perkembangan motorik.

2.3    Konsep Kualitas
Kualitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri.

2.4    Konsep Nyeri
2.4.1   Definisi nyeri
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Definisi lain menurut Engel (1970) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi ketidak-nyamanan yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi luka.
Menurut Mc. Laferly (1979), nyeri adalah suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang, dimana eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Wolf, Weitzel, dan Fuerst (1974) menyatakan bahwa nyeri adalah suatu perasaan fisik dan atau penderitaan mental atau perasaan sakit yang biasanya menimbulkan ketegangan atau siksaan bagi orang yang mengalaminya.
Menurut Virginia Burke, nyeri adalah persepsi sensorik dari rangsangan fisik, psikis maupun lingkungan yang diinterpretasikan oleh otak yang menimbulkan reaksi terhadap rangsangan tersebut. Nyeri adalah sensasi yang penting bagi tubuh. Sensasi penglihatan, pendengaran, bau, rasa, sentuhan,dan nyeri merupakan hasil stimulasi reseptor sensorik. Provokasi saraf-saraf sensorik nyeri menghasilkan reaksi ketidaknyamanan, distress, atau menderita.Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa nyeri merupakan suatu keadaan tidak nyaman yang meningkat yang sensasinya sangat subyektif, serta menimbulkan gangguan peningkatan emosi, pola pikir, dan sebagainya.

2.4.2 Sifat Nyeri
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri memiliki beberapa sifat, antara lain (Mahon,1994; dalam Potter & Perry,2005:1503) :
1.    Subjektif, sangat individual.
2.    Stimulus nyeri dapat berupa stimulus yang bersifat fisik dan/atau mental, sedangkan kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego seorang individu.
3.    Tidak menyenangkan.
4.    Merupakan suatu kekuatan yang mendominasi.
5.    Tidak berkesudahan.
6.    Melelahkan dan menuntut energi seseorang.
7.    Dapat mengganggu hubungan personal dan mempengaruhi makna kehidupan.
8.    Tidak dapat diukur secara objektif, seperti dengan menggunakan sinar X atau pemeriksaan darah.
9.    Mengarah pada penyebab ketidakmampuan.

2.4.3 Fisiologi Nyeri
Nyeri merupakan campuran fisik, emosi, dan perilaku. Cara yang paling baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan membantu untuk menjelaskan tiga komponen fisiologis berikut, resepsi, persepsi, dan reaksi (Potter & Perry,2005:1504-1510).
a.    Resepsi
Semua kerusakan selular, yang disebabkan oleh stimulus termal, mekanik, kimiawi, atau stimulus listrik menyebabkan pelepasan substansi yang menghasilkan nyeri. Pemaparan terhadap panas atau dingin, tekanan, friksi, dan histamin, bradikinin, dan kalium yang bergabung dengan lokasi reseptor di nosiseptor (reseptor yang berespons terhadap stimulus yang membahayakan) untuk memulai transmisi neural, yang dikaitkan dengan nyeri (Clancy dan McCivar, 1992). Tabel dibawah ini memuat ringkasan perubahan fisik yang memunculkan stimulus penghasil nyeri.
Tabel 2.1
Contoh sumber fisik nyeri
Tipe Stimulus
Sumber
Proses Patofisiologi
·      Mekanik
·      Kimia
·      Termal
·      Listrik
·         Gangguan dalam cairan tubuh
·         Distensi duktus
·         Lesi yang mengisi ruang (tumor).
·         Perforasi organ viseral
·         Terbakar (akibat panas atau dingin yang ekstrem).
·         Terbakar
·       Distensi edema pada jaringan tubuh
·       Regangan duktus lumen sempit.
·       Iritasi saraf perifer oleh pertumbuhan lesi di dalam ruangan lesi.
·       Iritasi kimiawi oleh sekresi pada ujung-ujung saraf yang sensitif.
·       Imflamasi oleh hilangnya lapisan superficial atau epidermis yang meningkatkan sensivitas ujung-ujung saraf.
·       Lapisan kulit terbakar disertai cedera jaringan subkutan dan cedera jaringan otot, menyebabkan cedera pada ujung-ujung saraf.
Sumber : Potter & Perry,2005:1505

Tidak semua jaringan terdiri dari reseptor yang mentransmisikan tanda nyeri. Otak dan alveoli paru merupakan contoh jaringan yang tidak mentransmisikan nyeri. Beberapa reseptor berespons hanya pada satu jenis stimulus nyeri, sedangkan reseptor yang lain juga sensitif terhadap temperatur dan tekanan. Apabila kombinasi dengan respons nyeri mencapai ambang nyeri (tingkat intensitas stimulus minimum yang dibutuhkan untuk membangkitkan suatu impuls saraf), kemudian terjadilah aktivasi neuron nyeri. Karena terdapat variasi dalam bentuk dan ukuran tubuh, maka distribusi reseptor nyeri di setiap bagian tubuh bervariasi. Hal ini menjelaskan subjektivitas anatomis terhadap nyeri. Bagian tubuh tertentu pada individu yang berbeda lebih atau kurang sensitif terhadap nyeri. Selain itu, individu memiliki kapasitas produksi substansi penghasil nyeri yang berbeda-beda, yang dikendalikan oleh gen individu. Semakin banyak atau parah sel yang rusak, maka semakin besar aktivasi neuron nyeri.
Impuls saraf, yang dihasilkan oleh stimulus nyeri, menyebar di sepanjang serabut saraf perifer aferen. Dua tipe serabut saraf perifer mengonduksi stimulus nyeri: serabut A-delta yang bermielinasi dan cepat dan serabut C yang tidak bermielinasi dan berukuran sangat kecil serta lambat. Serabut A mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi, dan jelas yang melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut tersebut menghantarkan komponen suatu cedera akut dengan segera (Jones dan Cory, 1990). Misalnya, setelah menginjak sebuah paku, seorang individu mula-mula akan merasakan suatu nyeri yang terlokalisasi dan tajam, yang merupakan hasil transmisi serabut-A. dalam beberapa detik, nyeri menjadi lebih difus dan menyebar sampai seluruh kaki terasa sakit karena persarafan serabut-C. Serabut-C tetap terpapar pada bahan-bahan kimia, yang dilepaskan ketika sel mengalami kerusakan.
Ketika serabut C dan serabut A-delta mentransmisikan impuls dari serabut saraf perifer, maka akan melepaskan mediator biokimia yang mengaktifkan atau membuat peka akan respons nyeri. Misalnya, kalium dan prostaglandin dilepaskan ketika sel-sel lokal mengalami kerusakan. Transmisi stimulus nyeri berlanjut di sepanjang serabut saraf aferen sampai transmisi tersebut berakhir di bagian kornu dorsalis medulla spinalis. Di dalam kornu dorsalis, neurotransmitter, seperti substansi P dilepaskan, sehingga menyebabkan suatu transmisi sinapsis dari saraf perifer (sensori) ke saraf traktus spinotalamus (Paice, 1991). Hal ini memungkinkan impuls nyeri ditransmisikan lebih jauh ke dalam sistem saraf pusat. Stimulus nyeri berjalan melalui serabut saraf di traktus spinotalamus yang menyeberangi sisi yang berlawanan dengan medulla spinalis. Impuls nyeri kemudian berjalan ke arah medulla spinalis. Setelah impuls nyeri naik ke medulla spinalis, maka informasi ditransmisikan dengan cepat ke pusat yang lebih tinggi di otak, termasuk pembentukan retikular, sistem limbik, talamus, dan korteks sensori dan korteks asosiasi.
Seiring dengan transmisi stimulus nyeri, tubuh mampu menyesuaikan diri atau memvariasikan resepsi nyeri. Terdapat serabut-serabut saraf di traktus spinotalamus yang berakhir di otak tengah, menstimulasi daerah tersebut untuk mengirim stimulus kembali ke bawah kornu dorsalis di medulla spinalis (Paice,1991). Serabut ini disebut sistem nyeri desenden, yang bekerja dengan melepaskan neuroregulator yang menghambat transmisi stimulus nyeri.
Respons refleks protektif juga terjadi dengan resepsi nyeri. Serabut delta-A mengirim impuls sensori ke medulla spinalis, tempat sinaps dengan neuron motorik. Impuls motorik menyebar melalui sebuah lengkung refleks bersama serabut saraf eferen (motorik) kembali ke suatu otot perifer dekat lokasi stimulasi. Kontraksi otot menyebabkan individu menarik diri dari sumber nyeri sebagai usaha untuk melindungi diri. Misalnya, apabila tangan seseorang dengan tidak sengaja menyentuh sebuah besi panas, maka akan merasakan sensasi terbakar, tetapi tangannya juga segera melakukan refleks dengan menarik tangannya dari permukaan besi tersebut. Apabila serabut-serabut superfisial di kulit distimulasi, maka individu akan menjauh dari sumber nyeri. Apabila jaringan internal, seperti membran mukosa atau otot terstimulasi, maka otot akan memendek dan menegang.
Resepsi nyeri membutuhkan sistem saraf perifer dan medulla spinalis yang utuh. Faktor-faktor umum yang mengganggu resepsi nyeri normal meliputi trauma, obat-obatan, pertumbuhan tumor, dan gangguan metabolik.
Neuroregulator atau substansi yang mempengaruhi transmisi stimulus saraf memegang peranan yang penting dalam suatu pengalaman nyeri. Substansi ini ditemukan di lokasi nosiseptor, di terminal saraf di dalam kornu dorsalis pada medulla spinalis. Neuroregulator dibagi menjadi dua kelompok, yaitu neurotransmitter, seperti substansi P mengirim impuls listrik melewati celah sinaps di antara dua serabut saraf. Serabut saraf tersebut adalah serabut eksitator atau inhibitor. Neuromodulator memodifikasi aktivitas neuron dan menyesuaikan atau memvariasikan transmisi stimulus nyeri tanpa secara langsung mentransfer tanda saraf melalui sebuah sinaps. Neuromodulator diyakini tidak bekerja secara langsung, yakni dengan meningkatkan dan menurunkan efek neurotransmitter tertentu. Endofrin merupakan salah satu contoh neuromodulator. Terapi farmakologis untuk nyeri secara luas berdasarkan pada pengaruh obat-obatan yang dipilih pada neuroregulator.
Peneliti mengetahui bahwa tidak ada pusat nyeri tertentu di sistem saraf. Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan dapat ditemukan di sel-sel gelantinosa substansia di dalam kornu dorsalis pada medulla spinalis, talamus, dan sistem limbik (Clancy dan McVicar, 1992). Dengan memahami hal-hal yang dapat mempengaruhi pertahanan ini, maka perawat dapat memperoleh konsep kerangka kerja yang bermanfaat untuk penanganan nyeri. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar terapi menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi P untuk mentransmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmitter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta-A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantar ke otak, terdapat pusat korteks yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi persepsi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiate endogen, seperti endofrin dan dinorfin, suatu pembuluh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromodulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. Teknik distraksi, konseling, dan pemberian placebo merupakan upaya untuk melepaskan endofrin. Peneliti tidak mengetahui bagaimana individu dapat mengaktifkan endofrin mereka.

1.    Persepsi
Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Stimulus nyeri ditransmisikan naik ke medulla spinalis ke talamus dan otak tengah. Dari talamus, serabut mentransmisikan pesan nyeri ke berbagai area otak, termasuk korteks sensori dan korteks asosiasi (di kedua lobus parietalis), lobus frontalis, dan sistem limbik (Paice, 1991). Ada sel-sel di dalam sistem limbik yang diyakini mengontrol emosi, khususnya untuk ansietas. Dengan demikian, sistem limbik berperan aktif dalam memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi saraf berakhir di dalam pusat otak yang lebih tinggi, maka individu akan mempersepsikan sensasi nyeri.
Pada saat individu menjadi sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang kompleks. Faktor-faktor psikologis dan kognitif berinteraksi dengan faktor-faktor neurofisiologis dalam mempersepsikan nyeri. Meinhart dan McCaffery (1983) menjelaskan tiga sistem interaksi persepsi nyeri sebagai sensori-diskriminatif, motivasi-adektif, dan kognitif-evaluatif. Persepsi menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu dapat bereaksi.
2.    Reaksi
Reaksi terhadap nyeri merupakan respons fisiologis dan perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri.
Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan talamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respons stres. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang superficial menimbulkan reaksi “flight-atau-fight”, yang merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan respons fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus, berat, atau dalam, dan secara tipikal melibatkan organ-organ viseral (seperti nyeri pada infark miokard, kolik akibat kandung empedu atau batu ginjal), sistem saraf parasimpatis menghasilkan suatu aksi. Respons fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan individu. Kecuali pada kasus-kasus nyeri traumatik yang berat, yang menyebabkan individu mengalami syok, kebanyakan individu mencapai tingkat adaptasi, yaitu tanda-tanda fisik menjadi normal. Dengan demikian, klien yang mengalami nyeri tidak akan selalu memperlihatkan tanda-tanda fisik.
Pada saat nyeri dirasakan, pada saat itu juga dimulai suatu siklus, yang apabila tidak diobati atau tidak dilakukan upaya untuk menghilangkannya, dapat mengubah kualitas kehidupan individu secara bermakna. Mahon (1994) mencatat bahwa nyeri dapat memiliki sifat yang mendominasi, yang mengganggu kemampuan individu berhubungan dengan orang lain dan merawat diri sendiri. Komponen reaksi nyeri membantu dalam menjelaskan mengapa penatalaksanaan nyeri dapat merupakan suatu tantangan. Meinhart dan McCaffery (1983) mendeskripsikan tiga fase pengalaman nyeri : antisipasi, sensasi, dan akibat (aftermath). Fase antisipasi terjadi sebelum mempersepsikan nyeri. Seorang individu mengetahui nyeri akan terjadi. Fase antisipasi mungkin bukan merupakan fase yang paling penting, karena fase tersebut dapat mempengaruhi dua fase yang lain. Dalam situasi cedera traumatik atau dalam prosedur nyeri yang tidak terlihat, individu tidak akan dapat mengantisipasi nyeri.
Sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Individu bereaksi terhadap nyeri dengan cara yang berbeda-beda. Toleransi individu terhadap nyeri merupakan titik yaitu terdapat suatu ketidakinginan untuk menerima nyeri dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama. Toleransi tergantung pada sikap, motivasi, dan nilai yang diyakini seseorang.
Gerakan tubuh yang khas dan ekspresi wajah yang mengindikasikan nyeri meliputi menggeretakkan gigi, memegang bagian tubuh yang terasa nyeri, postur tubuh membengkok, dan ekspresi wajah yang menyeringai. Seorang klien mungkin menangis atau mengaduh, gelisah, atau sering memanggil perawat. Perawat dengan segera akan belajar mengenai pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Namun, kurangnya ekspresi nyeri, seperti yang terjadi pada klien yang bingung, tidak selalu berarti bahwa klien tidak mengalami nyeri. Kecuali klien tidak bereaksi secara terbuka terhadap nyeri, akan sulit untuk menentukan sifat dan tingkat ketidaknyamanan yang klien rasakan.
Fase akibat (aftermath) nyeri terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti. Bahkan walaupun sumber nyeri dikontrol, seorang klien mungkin masih memerlukan perhatian perawat karena nyeri merupakan suatu krisis.

2.4.4 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Karena nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri individu. Perawat mempertimbangkan semua faktor mempengaruhi klien yang merasakan nyeri. Hal ini sangat dalam upaya untuk memastikan bahwa perawat menggunakan pendekatan yang holistik dalam pengkajian dan perawatan klien yang mengalami nyeri (Potter & Perry,2005:1511).
1.    Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana bereaksi terhadap nyeri.
2.    Jenis Kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespons terhadap nyeri (Gil, 1990). Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam pengekspresian nyeri.
3.    Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Calvillo dan Flaskerud, 1991).
4.    Makna nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan.
5.    Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respons nyeri yang menurun (Gil, 1990). Konsep ini merupakan salah satu konsep yang perawat terapkan di berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided imagery), mendengarkan musik, dan masase. Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain, maka perawat menempatkan nyeri pada kesadaran yang perifer. Biasanya, hal ini menyebabkan toleransi nyeri individu meningkat, khususnya terhadap nyeri yang berlangsung hanya selama waktu distraksi.
6.    Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas.
7.    Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping.
8.    Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka ansietas atau bahkan rasa takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri, dengan jenis yang sama berulang-ulang, tetapi kemudian nyeri tersebut dengan berhasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk menginterpretasikan sensasi nyeri. Akibatnya, klien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri.
9.    Gaya koping
Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian maupun keseluruhan/total. Klien seringkali menemukan berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri. Penting untuk memahami sumber-sumber koping klien selama ia mengalami nyeri. Sumber-sumber seperti berkomunikasi dengan keluarga pendukung, melakukan latihan, atau menyanyi dapat digunakan dalam rencana asuhan keperawatan dalam upaya mendukung klien dan mengurangi nyeri sampai tingkat tertentu.
10.    Dukungan keluarga dan sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respons nyeri ialah kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka terhadap klien. Individu dari kelompok sosiobudaya yang berbeda memiliki harapan yang berbeda tentang orang tempat mereka menumpahkan keluhan mereka tentang nyeri (Meinhart dan McCaffery, 1983). Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap dirasakan klien, kehadiran orang yang dicintai klien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri membuat klien semakin tertekan.

2.5 Konsep Dasar Lansia
2.5.1 Definisi Lansia
Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak  perubahan baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuaan normal, seperti rambut yang mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di wajah, berkurangnya ketajaman panca indera, serta kemunduran daya tahan tubuh, merupakan acaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan kehilangan-kehilangan peran diri, kedudukan sosial, serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. Semua hal tersebut menuntut kemampuan beradaptasi yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak (Soejono, 2000).
Pengertian lansia (Lanjut Usia) adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagai mana di ketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi ini, dan memasuki selanjutnya, yaitu usia lanjut, kemudian mati. Bagi manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya (Darmojo, 2004).
Pengertian lansia (lanjut usia) menurut UU No. 4 Tahun 1965 adalah seseorang yang mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Wahyudi, 2000) sedangkan menurut UU No. 12 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun (Depsos, 1999). Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan kematian (Hutapea, 2005).

2.5.2 Definisi Menua
Penuaan adalah konsekuensi  yang tidak dapat dihindarkan. Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi daan memperbaiki kerusakan yang diderita. Seiring dengan pross menua tersebut, tubuh akan mengalami berbagai masalaah kesehatan yang biasa disebut sebagai penyakit degenerative (Constantinides, 1994 dalam Maryam R. Siti, dkk, 2008).
Penuaan adalah suatu  prose salami yang tidak  dapat di hindari, berjalan terus menerus dan berkesinambungan.selanjutnya  akan menyebabkan perubahan anatomis,  fisionologi dan biokimia pada tubuh sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan c
Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh. Sebenarnya tidak ada batas yang tegas, pada usia berapa penampilan seseorang mulai menurun. Pada setiap orang, fungsi fisiologis alat tubuhnya sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak maupun saat menurunnya. (Nugroho, W. 2000)
                                   
2.5.3 Batasan Lanjut Usia
1.      Batasan umur lansia menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) Lanjut usia meliputi :
a.       Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun
b.      Lanjut usia (elderly) = antara 60 sampai 74 tahun
c.       Lanjut usia tua (old) = antara 75 sampai 90 tahun
d.      Usia sangat tua (very old) = diatas 90 tahun
2.      Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (psikolog UI)
Lanjut usia merupakan kelanjutan daari usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi menjadi 4 bagian :
a.       Fase iuventus, antara 25 sampai 40 tahun
b.      Fase vertilitas, antara 40 sampai 50 tahun
c.       Fase prasenium, antara 55 sampai  64 tahun
d.      Fase senium, 65 tahun hingga tutup usia
3.      Departemen Kesehatan RI mengklasifikasikan lanjut usia sebagai berikut:
a.       Pralansia (prasenilis)
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b.      Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c.       Lansia risiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003).
d.      Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI, 2003).
e.       Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).
4.      Menurut UU No. 4 tahun 1965 pasal 1 dinyatakan sebagai berikut: “seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafksh dari oraang lain. (Nugroho, 2000).

2.5.4 Tipe Lanjut Usia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho, 2000 dalam buku R. Siti Maryam, dkk, 2008).
Tipe tersebut dapat dibagi sebagai berikut:
1.         Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
2.         Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
3.         Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak menuntut.
4.         Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.
5.         Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe dependen (ketergantungan), tipe defensif (bertahan), tipe militant dan serius, tipe pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri).
Sedangkan bila dilihat dari tingkat kemandiriannya yang dinilai berdasarkan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (indeks kemandirian Katz), para lansia dapat digolongkan menjadi beberapa tipe yaitu lansia mandiri sepenuhnya, lansia mandiri dengan bantuan langsung keluarganya, lansia mandiri dengan bantuan secara tidak langsung, lansia dengan bantuan badan sosial, lansia dip anti werda, lansia yang dirawat di rumah sakit, dan lansia dengan gangguan mental.

2.5.5 Teori-Teori Proses Menua
Beberapa teori-teori proses menua (Maryam. R. Siti dkk, 2008):
1.      Teori biologi
Teori biologi mencangkup teori genetic dan mutasi, immunology, teori stress, teori radikal bebas, dan teori rantai silang.
a.       Teori genetic dan mutasi
Menurut teori genetic dan mutasi, menua terprogram secara genetic untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang di program oleh molekul DNA dan seetiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi  sebagi contoh yang khas adalah mutasi dari sel-sel kelamin (terjadi penurunan kemaampuan fungsi sel).
Terjadi pengumpulan pigmenatau lemak dalam tubuh yangdisebut teori akumulasi dari produk sisa, sebagi contoh adalah adanya figmen lipofusin di sel oto jantung dan sel-sel susunan saraf pusat pada lansia yang mengakibatkan terganggunyaa fungsi sel itu sendiri.
Pada teori biologi dikenal dengan istilah pemakaian dan perusakan (wear and tear) yang terjadi karena kelebihan usaha dan stress yang menyebabkan sel-sel tubuh menjadi lelah (pemakaian). Pada teori ini juga didapatkan terjadinya peningkatan jumlah kolagen dalam tubuh lansia, tidak ada perlindungan terhadap radiasi, penyakit.
b.      Teori Immunologis (Luecknotte, 1995) 
Beberapa teori menyatakan bahwa penurunan atau perubahan dalam keefektifan sistem imun berperan dalam penuaan. Mekanisme seluler tidak teratur diperkirakan menyebabkan seraangan pada jaringan tubuh melalui imunodefisiensi atau penurunan imun.
Tubuh akan kehilangan kemampuan untuk membedakan proteinnya sendiri dengan protein asing, sistem imun menyerang dan mengahancurkan bakteri, virus dan jamur melemah. Bahkan sistem ini mungkin tidak memulai serangannya sehingga sel mutasi terbentuk beberapa kali. Semakin bertambahnya usia, fungsi sistem imun kehilangan keefektifan, imunodefisiensi berhubungan dengan penurunan fungsi.
c.       Teori Stress
Teori stress mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan oleh tubuh. Regenarasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stress yang menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
d.      Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas,tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organic seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenarasi.
e.       Teori rantai silang
Pada teorri rantai silang di ungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua atau rusak menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen, ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas, kekacauan daan hilangnya fungsi sel.
2.      Teori Psikologis
a.       Teori Pelepasan
Teori pelepasan memberikan pandangan bahwa penyesuaian diri lansia, merupakan suatu proses yang secara berangsur-angsur sengaja dilakukan oleh mereka, untuk melepaskan diri dari masyarakat.
b.      Teori Aktivitas
Teori aktivitas berpandangan bahwa walaupun lansia pasti terbebas dari aktivitas, tetapi mereka secara bertahap mengisi waktu luangnya dengan melakukan aktivitas lain sebagai kompensasi dan penyesuai untuk menghadapi hari tua.

2.5.6 Mitos dan Stereotip Seputar Lanjut Usia
Menurut Sheiera Saul, 1974 mitos-mitos seputar lansia antara lain sebagai berikut:
1.         Mitos kedamaian dan ketenangan
Adanya anggapan bahwa para lansia dapat santai menikmati hidup, hasil kerja, dan jerih payahnya di masa muda. Berbagai guncangan kehidupan seakan-akan sudah berhasil dilewati. Kenyataannya, sering ditemui lansia yang mengalami stress karena kemiskinan dan berbagai keluhan serta penderitaan karena penyakit.
2.         Mitos konservatif dan kemunduran
Konservatif berarti kolot, bersikap mempertahankan kebiasaan, tradisi, dan keadaan yang berlaku. Adanya anggapan bahwa para lansia itu tidak kreatif, menolak inovasi, berorientasi ke masa silam, kembali ke masa kanak-kanak, sulit berubah, keras kepala, dan cerewet. Kenyataannya, tidak semua lansia bersikap dan mempunyai pemikiran demikian.
3.         Mitos berpenyakitan
Adanya anggapan bahwa masa tua dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang disertai berbagai penyakit dan sakit-sakitan. Kenyataannya, tidak semua lansia berpenyakitan. Saat ini sudah banyak jenis pengobatan serta lansia yang rajin melakukan pemeriksaan berkala sehingga lansia tetap sehat dan bugar.
4.         Mitos senilitas
Adanya anggapan bahwa para lansia sudah pikun. Kenyataannya, banyak yang masih tetap cerdas dan bermanfaat bagi masyarakat, karena banyak cara untuk menyesuaikan diri terhadap penurunan daya ingat.
5.         Mitos tidak jatuh cinta
Adanya anggapan bahwa para lansia sudah tidak lagi jatuh cinta dan bergairah kepada lawan jenis. Kenyataannya, perasaan dan emosi setiap orang berubah sepanjang masa serta perasaan cinta tidak berhenti hanya karena menjadi tua.
6.         Mitos aseksualitas
Adanya anggapan bahwa pada lansia hubungan seks menurun, minat, dorongan, gairah, kebutuhan, dan daya seks berkurang. Kenyataannya, kehidupan seks para lansia normal-normal saja dan tetap bergairah, hal ini dibuktikan dengan banyaknya lansia yang ditinggal mati oleh pasangannya, namun masih ada rencana untuk menikah lagi.
7.         Mitos ketidakproduktifan
Adanya anggapan bahwa para lansia tidak produktif lagi. Kenyataannya, banyak para lansia yang mencapai kematangan, kemantapan, dan produktivitas mental maupun material.
Mitos-mitos di atas harus disadari perawat dalam memberikan asuhan keperawatan, karena banyak kondisi lansia yang sesuai dengan mitos tersebut dan sebagian lagi tidak mengalaminya.
2.5.7 Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lanjut Usia
Banyak kemampuan berkurang pada saat orang bertambah tua. Dari ujung rambut sampai ujung kaki mengalami perubahan dengan makin bertambahnya umur. Menurut Nugroho (2000) perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut:
1.         Perubahan Fisik
a.         Sel
Jumlahnya menjadi sedikit, ukurannya lebih besar, berkurangnya cairan intra seluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel.
b.        Sistem Persyarafan
Respon menjadi lambat dan hubungan antara persyarafan menurun, berat otak menurun 10-20%, mengecilnya syaraf panca indra sehingga mengakibatkan berkurangnya respon penglihatan dan pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman dan perasa, lebih sensitif terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap dingin rendah, kurang sensitif terhadap sentuhan.
c.         Sistem Penglihatan
Menurun lapang pandang dan daya akomodasi mata, lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, pupil timbul sklerosis, daya membedakan warna menurun.
d.        Sistem Pendengaran
Hilangnya atau turunnya daya pendengaran, terutama pada bunyi suara atau nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas umur 65 tahun, membran timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.
e.         Sistem Kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, kehilangan sensitivitas dan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi perubahan posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg dan tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer, sistole normal ±170 mmHg, diastole normal ± 95 mmHg.
f.         Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh
Pada pengaturan suhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu thermostat yaitu menetapkan suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi beberapa faktor yang mempengaruhinya yang sering ditemukan antara lain: temperatur tubuh menurun, keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya aktifitas otot.
g.        Sistem Respirasi
Paru-paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun dan kedalaman nafas turun. Kemampuan batuk menurun (menurunnya aktivitas silia), O2 arteri menurun menjadi 75 mmHg, CO2 arteri tidak berganti.
h.        Sistem Gastrointestinal
Banyak gigi yang tanggal, sensitivitas indra pengecap menurun, pelebaran esophagus, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu pengosongan menurun, peristaltik lemah, dan sering timbul konstipasi, fungsi absorbsi menurun.
i.          Sistem Genitourinaria
Otot-otot pada vesika urinaria melemah dan kapasitasnya menurun sampai 200 mg, frekuensi BAK meningkat, pada wanita sering terjadi atrofi vulva, selaput lendir mongering, elastisitas jaringan menurun dan disertai penurunan frekuensi seksual intercrouse berefek pada seks sekunder.
j.          Sistem Endokrin
Produksi hampir semua hormon menurun (ACTH, TSH, FSH, LH), penurunan sekresi hormon kelamin misalnya: estrogen, progesterone, dan testoteron.
k.        Sistem Kulit
Kulit menjadi keriput dan mengkerut karena kehilangan proses keratinisasi dan kehilangan jaringan lemak, berkurangnya elastisitas akibat penurunan cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi keras dan rapuh, kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya, perubahan pada bentuk sel epidermis.
l.          Sistem Muskuloskeletal
Tulang kehilangan cairan dan rapuh, kifosis, penipisan dan pemendekan tulang, persendian membesar dan kaku, tendon mengkerut dan mengalami sclerosis, atropi serabut otot sehingga gerakan menjadi lamban, otot mudah kram dan tremor.
2.         Perubahan Mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah:
a.         Perubahan fisik.
b.        Kesehatan umum.
c.         Tingkat pendidikan.
d.        Hereditas.
e.         Lingkungan.
f.         Perubahan kepribadian yang drastis namun jarang terjadi misalnya kekakuan sikap.
g.        Kenangan, kenangan jangka pendek yang terjadi 0-10 menit.
h.        Kenangan lama tidak berubah.
i.          Tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal, berkurangnya penampilan, persepsi, dan ketrampilan psikomotor terjadi perubahan pada daya membayangkan karena tekanan dari faktor waktu.
3.         Perubahan Psikososial
a.         Perubahan lain adalah adanya perubahan psikososial yang menyebabkan rasa tidak aman, takut, merasa penyakit selalu mengancam sering bingung panik dan depresif.
b.        Hal ini disebabkan antara lain karena ketergantungan fisik dan sosioekonomi.
c.         Pensiunan, kehilangan financial, pendapatan berkurang, kehilangan status, teman atau relasi.
d.        Sadar akan datangnya kematian.
e.         Perubahan dalam cara hidup, kemampuan gerak sempit.
f.         Ekonomi akibat perhentian jabatan, biaya hidup tinggi.
g.        Penyakit kronis.
h.        Kesepian, pengasingan dari lingkungan sosial.
i.          Gangguan syaraf panca indra.
j.          Gizi
k.        Kehilangan teman dan keluarga.
l.          Berkurangnya kekuatan fisik.

2.5.8 Permasalahan Pada Lansia
Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan lansia antara lain (Setiabudi, 1999: 40-42):
1.    Permasalahan Umum
a.    Makin besarnya jumlah lansia yang berada dibawah garis kemiskinan.
b.    Makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut kurang diperhatikan, dihargai, dan dihormati.
c.    Lahirnya kelompok masyarakat industri.
d.   Masih rendahnya kualitas dan kuantitas tenaga profesional pelayanan lansia.
e.    Belum membudaya dan melembaganya pembinaan kesejahteraan lansia.
2.    Permasalahan Khusus
a.    Berlangsungnya proses menua yang berakibat timbulnya masalah baik fisik, mental maupun sosial.
b.    Berkurangnya integrasi sosial lansia.
c.    Rendahnya produktivitas kerja lansia.
d.   Banyaknya lansia yang miskin, terlantar, dan cacat.
e.    Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah pada tatanan masyarakat individualistik.
f.     Adanya dampak negatif dari proses pembangunan yang dapat mengganggu kesehatan fisik lansia.


















BAB 3
PEMBAHASAN

3.1         Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan motorik pada lansia
Kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan aktifitas sehari-hari pada lansia adalah sebagian berikut:
3.1.1 Faktor-faktor dari dalam diri sendiri
a. Umur
Kemampuan aktifitas sehari-hari pada lanjut usia dipengaruhi dengan umur lanjut usia itu sendiri. Semakin tua ketergantungannya semakin besar. Umur seseorang menunjukkan tanda kemauan dan kemampuan, ataupun bagaimana seseorang bereaksi terhadap ketidakmampuan melaksanakan aktifitas sehari-hari (Potter, 2005).
b. Kesehatan fisiologis
Kesehatan fisiologis seseorang dapat mempengaruhi kemampuan partisipasi dalam aktifitas sehari-hari, sebagai contoh sistem nervous menggumpulkan dan menghantarkan, dan mengelola informasi dari lingkungan. Sistem muskuluskoletal mengkoordinasikan dengan sistem nervous sehingga seseorang dapat merespon sensori yang masuk dengan cara melakukan gerakan. Gangguan pada sistem ini misalnya karena penyakit, atau trauma injuri dapat mengganggu pemenuhan aktifitas sehari-hari.
c. Fungsi kognitif
Kognitif adalah kemampuan berfikir dan memberi rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan (Keliat,1995). Tingkat fungsi kognitif dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Fungi kognitif menunjukkan proses menerima, mengorganisasikan dan menginterpestasikan sensor stimulus untuk berfikir dan menyelesaikan masalah. Proses mental memberikan kontribusi pada fungsi kognitif yang meliputi perhatian memori, dan kecerdasan. Gangguan pada aspek-aspek dari fungsi kognitif dapat mengganggu dalam berfikir logis dan menghambat kemandirian dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari.
d. Fungsi psikologis
Fungsi psikologis menunjukkan kemampuan seseorang untuk mengingat sesuatu hal yang lalu dan menampilkan informasi pada suatu cara yang realistik. Proses ini meliputi interaksi yang komplek antara perilaku interpersonal dan interpersonal. Kebutuhan psikologis berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang. Meskipun seseorang sudah terpenuhi kebutuhan materialnya, tetapi bila kebutuhan psikologisnya tidak terpenuhi, maka dapat mengakibatkan dirinya merasa tidak senang dengan kehidupanya, sehingga kebutuhan psikologi harus terpenuhi agar kehidupan emosionalnya menjadi stabil (Tamher, 2009).
e. Tingkat stres
Stres merupakan respon fisik non spesifik terhadap berbagai macam kebutuhan. Faktor yang menyebabkan stress disebut stressor, dapat timbul dari tubuh atau lingkungan dan dapat mengganggu keseimbangan tubuh. Stres dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan. Stres dapat mempunyai efek negatif atau positif pada kemampuan seseorang memenuhi aktifitas sehari-hari (Miller, 1995).

3.1.2 Faktor-faktor dari luar meliputi:
a. Lingkungan keluarga
Keluarga masih merupakan tempat berlindung yang paling disukai para lanjut usia. Lanjut usia merupakan kelompok lansia yang rentan masalah, baik masalah ekonomi, sosial, budaya, kesehatan maupun psikologis, oleh karenanya agar lansia tetap sehat, sejahtera dan bermanfaat, perlu didukung oleh lingkungan yang konduktif seperti keluarga.
b. Lingkungan tempat kerja
Kerja sangat mempengaruhi keadaan diri dalam mereka bekerja, karena setiap kali seseorang bekerja maka ia memasuki situasi lingkungan tempat yang ia kerjakan. Tempat yang nyaman akan membawa seseorang mendorong untuk bekerja dengan senang dan giat.
c. Ritme biologi
Waktu ritme biologi dikenal sebagai irama biologi, yang mempengaruhi fungsi hidup manusia. Irama biologi membantu mahluk hidup mengatur lingkungan fisik disekitarnya. Beberapa faktor yang ikut berperan pada irama sakardia diantaranya faktor lingkungan seperti hari terang dan gelap. Serta cuaca yang mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Faktor-faktor ini menetapkan jatah perkiraan untuk makan, bekerja.

3.2         Peningkatan kualitas nyeri pada lansia
Peningkatan kualitas nyeri pada lansia terjadi karena pada sistem muskuloskeletal telah terjadi penurunan fungsi yaitu tulang mengalami kehilangan cairan dan rapuh, kifosis, penipisan dan pemendekan tulang, persendian membesar dan kaku, tendon mengkerut dan mengalami sklerosis, atropi serabut otot sehingga gerakan menjadi lamban, otot mudah kram dan tremor. Perubahan biologis dapat digunakan sebagai pengukuran tidak langsung pada nyeri akut, tetapi respon biologis pada nyeri akut dapat distabilkan dalam beberapa waktu karena tubuh dapat berusaha memulihkan homeostatisnya. Sebagai contoh, pernapasan atau denyut nadi mungkin menunjukkan beberapa perubahan yang kecil pada awal migrain jika terjadi serangan yang tiba-tiba dan keras, tetapi beberapa waktu kemudian perubahan tersebut akan kembali sebelum migrain tersebut menetap sekalipun migrainnya berlangsung lama. Pengukuran fisiologis berguna dalam keadaan dimana pengukuran secara observasi lebih sulit dilakukan. Yang termasuk dalam pengukuran fisiologis adalah pemeriksaan denyut nadi, pernapasan, dll.

3.3         Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan motorik terhadap peningkatan kualitas nyeri pada lansia
Postur tubuh berhubungan secara bermakna dengan rasa nyeri pada lansia. Studi yang dilakukan pada lansia berusia 70-93 tahun menunjukkan hasil yang konsisten postur  tubuh berhubung secara bermakna dengan rasa nyeri kronik. Dengan demikian lansia perlu dilatih supaya tubuhnya lebih lentur untuk mengatasi rasa nyeri. Kondisi ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyatakan adanya mitos yang berkembang bahwa nyeri pada lansia adalah sesuatu yang biasa sehingga penderita berupaya untuk menutupi keluhan nyeri yang dirasakan mengganggu. Namun penelitian di Swedia pada lansia berusia 65 tahun ke atas menunjukkan 27,9% lansia yang menderita rasa nyeri tidak berupaya mencari pengobatan.  Hasil yang tidak konsisten ini menunjukkan persepsi lansia terhadap rasa nyeri berbeda dan dipengaruhi oleh budaya dan norma masyarakat.
Kebanyakan lansia mengalami peningkatan kualitas nyeri ketika beraktifitas, seperti berjalan, duduk, bekerja, dan lain sebagainya. Dan nyeri akan berkurang ketika dibuat untuk beristirahat. Maka dari itu dari itu dapat ditarik kesimpulan terdapat prevelansi yang kuat antara kemampuan motorik seorang lansia terhadap peningkatan kualitas nyeri pada lansia.




















Daftar pustaka

Anderson P. Syilvia. (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC

Lukman dan Nurnaningsih, 2009. Asuhan Keperawatan pada klien dengan Gangguan Sistem Muskuluskeletal. Jakarta : Salemba Medika.
Potter, Patricia A dan Anne G Perry. 2010. Fundamentals Of Nursing Fundamental Keperawatn Buku 2 ed-7. Jakarta : Salemba Medika
Priharjo, Robert. 1996. Pengkajian Fisik Keperawatan. Jakarta : EGC
Smeltzer and Bare. 2001. Buku Ajaran Keperawatan Medikel Bedah. Jakarta : EGC
Weiner, Howard L.. 2000. Buku Saku Neurologi, Cetakan I. Jakarta : EGC
AGS Panel on Persistent Pain in Older Persons. The management of persistent pain in older persons. J Am Geriatr Soc 2002;50 (6Suppl):S205-S224.

Bieri D, Reeve RA, Champion CD, et al. The faces pain scale for the self-assessment of the severity of pain experienced by children: development, initial validation, and preliminary investigation for ratio scale properties. Pain 1990;41:139-150.

Diakses pada tanggal 25 April 2013. Pukul 14.00
http://nurse87.wordpress.com/2012/04/20/pengkajian-sistem-muskuloskeletal/. Diakses pada tanggal 25 April 2013 Pukul 14.00 wib.

STIKES Hang Tuah Surabaya Jaya!!!